“Sebenarnya apa makna ta’awwudz itu? bukankah kita tak boleh mengutuk makhluk ciptaan Tuhan seperti apapun buruknya dia?” tanya seorang teman Jon.
Si Jon tersenyum, barangkali tak ada yang lebih menggembirakan baginya, selain melihat orang-orang yang belajar bersamanya, dari dalam hatinya muncul kelembutan, cinta kasih, penghancur kebencian dan dendam. Pertanyaan seperti itu, sangat mungkin muncul dari ketakutannya menjadi diri yang buruk, dengan mengutuk sesuatu, meski sebenarnya itu memang buruk. Seperti kata Gandhi, kemarahan hanya menimbulkan masalah yang lebih besar. Seperti kata Muhammad Rasulullah, la taghdlof wa lakal jannah, jangan narah, bagimu surga.
Titik pentingnya ada dua dalam pertanyaan itu. Pertama, barangkali manusia boleh mengutuk sesuatu jika itu diajarkan oleh Tuhan atau nabi. Tapi yang dikhawatirkan adalah, yaitu kedua, biasanya orang menjadi marah ketika mengutuk sesuatu. Dalam hal ini, doa itu semacam ‘ujian’ untuk orang-orang beriman. Pertama, agar jangan sampai marah. Kedua, jangan sampai mengutuk sesuatu yang sebenarnya manusia ikuti secara diam-diam. Manusia membenci setan, tapi tidak dengan sifatnya. Manusia masih senang berbohong, pelit, berprasangka buruk, menyakiti sesama, dan kejahatan lainnya.
“Ada dalam surah al isro ayat 98 jawabannya, fa idza qoro’tal qur’an, fas taidzbillahi minasysyaithonnirojim,” Jon mulai berceloteh. “Maka saat engkau (rasulullah) membaca qur’an, ucapkan ‘aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk’. Kalau boleh aku maksudkan, ayat ini masih berkaitan dengan ayat pertama dan kedua surah al alaq, iqro bismirobbikaladzi kholaq, bahwa perlindungan-Nya benar-benar kita butuhkan bahkan sebelum kita membaca – qur’an. Dalam hal, katakanlah sepele, seperti membaca, berpikir, kita diajarkan untuk meminta perlindungan pada-Nya. Maka tak heran, jika, jangankan tindakan, pikiran dan ucapan kita adalah keburukan, karena memang kita tak meminta dilindungi dari godaan setan, bahkan dalam hal berpikir,”