Tafakarun Ghoriban (esai)

Java Tivi
0

3 Mei 2015 pukul 18.46

Maa anta bi ni'mati robbika bi majnun

Dalam hatinya ia bertanya,'Tidak ada orang yg berpikir seperti ini. Tidak ada orang yg mengalami sesuatu yg aku alami. Apakah aku gila?'

Barangkali perasaan keterasingan rasul seperti itu di saat-saat pertama kali mendapatkan risalah. 'Wa innaka la'ala khuluqin adzim,' ketika ia mengira telah gila, atau tersesat oleh jin, Khadijah sang istri mendamaikan hatinya.

“Engkau seorang yang baik hati. Engkau senang menolong orang lain, membantu yang miskin, dan melakukan tanggung jawab besar yang orang tak mau menanggungnya,”

Manusia cenderung tak mampu melihat kebenaran, meski petunjuk telah didatangkan. Rasul seorang yang buta huruf. Ia tak bisa membaca petujuk dalam bentuk tulisan. Resiko besar tak bisa membaca adalah ketersesatan yang sangat jauh, tapi keuntungannya, mereka yang tak membutuhkan tulisan, kabar berita yang sampai di depan mata dalam bentuk tulisan, imajinasinya akan langsung ke tempat kejadian. Jika banyak orang tertipu oleh kabar, orang-orang yang mengerti bahwa petunjuk hanyalah bagian kecil dari kebenaran, maka Muhammad ibn Abdullah adalah satu-satunya orang yang mampu melewati ‘batas kabar’, dan pemahamannya secara langsung membawanya pada dimensi saat kejadian itu terjadi.

Selama masa remaja, ia habiskan untuk belajar dari alam. Tak membiarkan waktu membawanya ke masa depan, dengan tetap bersama ‘kebodohan’ yang dimiliki di masa lalu. Kuda yang terus dilatih, akan semakin cepat dan kuat berlari. Demikian pun dengan akal pikiran dan hati.

Ia menjadi manusia pilihan, dalam pemahaman kita yang begitu dangkal, seseorang terpilih karena tak memiliki perasaan harus terpilih, namun terus membuktikan diri bahwa ia berkualitas. Saat orang-orang sekitarnya bersenang-senang, ia memilih menyendiri. Saat orang-orang memilih melupakan banyak orang yang membutuhkan pertolongan, ia sebaliknya, mengorbankan diri untuk banyak orang. Seseorang dikatakan berkualitas bukan ketika ia tak memilih kesenangan saat kesenangan itu tak datang. Melainkan ia memilih keterasingan, saat kesenangan datang di hadapannya dengan ‘telanjang’. Ia berani memilih untuk tak mengambil kesempatan bersenang-senang, lalu melemparkan diri kepada kesunyian jiwa dalam perenungan.

Para malaikat protes ketika Tuhan akan mengangkat manusia menjadi wakilnya di bumi.
“Mengapa Engkau akan menjadikan manusia sebagai wakil-Mu di bumi? Bukankah mereka senang dengan perang dan kerusakan?”kata malaikat.

“Aku lebih tahu daripada kalian,” jawab Tuhan.

Malaikat tak paham, karena manusia memiliki kemampuan melewati kualitas para malaikat. Mereka, para malaikat, hanya mengerti bahwa manusia memiliki watak gelap dan terang. Watak gelap akan menyerupai iblis, sedang watak terang akan menjadikannya mulia dan terpilih. Malaikat tak mampu menduga, bahwa manusia mampu mengunggulinya. Seperti ketika rasul memasuki Sidratul Muntaha. Malaikat hanya mampu sampai ke langit ke tujuh saja. Malaikat diajarkan Tuhan berbagai pengetahuan, sedang Tuhan bersemayam dalam diri manusia yang selalu ber-tafakarun ghoriban, dalam keterasingan.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)