Di zaman yg manusianya cenderung tak meletakan otak di kepala, ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yg tak begitu berharga. Para cendekiawan teranggap seperti kambing, yg mengembik tak dimengerti siapapun kecuali sesamanya. Ukuran kehidupan manusia dilihat dari yg nampak, sedang kerendahan hati menjadi sesuatu yg terlalu asing._Jon Q_
Ada kenikmatan tersendiri Jon hidup kembali di tanah kelahirannya. Di sana, tak ada yg benar-benar mengenalnya. Ia tak harus pergi kesana-kemari memenuhi undangan diskusi, mendengar sekaligus mencari solusi permasalahan banyak orang. Ia lama belajar untuk mengendalikan kebutuhan-kebutuhan dasar, salah satunya kebutuhan untuk dikenal. Di satu sisi pemahamannya cukup tinggi, di sisi lain orang melihatnya sebagai pemuda biasa yg tak bisa apa-apa : selain bercanda. Ia menutupi dirinya dengan humor. Pengalaman membuatnya tak ingin dikenal banyak orang. Terlebih diinginkan banyak orang, ia akan melakukan berbagai cara agar tak menjadi itu. Salah satunya, memanfaatkan umur di hadapan para orang dewasa. Bersikap polos, demi mendamaikan pihak-pihak yg berbeda pendapat.
"Tak enak menjadi orang dewasa," katanya sore itu. "Kita bicara banyak hal tentang persoalan kecil dan besar, tanpa kita tahu seberapa besar ukuran pikiran kita,"
"Apa hubungannya, Jon?" tanyaku.
"Persoalan kecil terlihat besar oleh pikiran yg picik : sempit. Sedang orang yg berpikiran besar, tak akan menganggap suatu persoalan terlihat kecil, meski ia tahu itu kecil,"
Satu minggu itu Jon benar-benar tak punya waktu bersantai. 'Hukum bidak catur' yg dibuatnya membuat ia bergerak ke berbagai tempat, demi selesainya persoalan yg ia hadapi.
"Barangkali yg kita butuhkan benar-benar permainan," katanya lagi. "Memiliki hati seorang anak kecil yg selalu riang, lalu menguatkan akal agar tak curang saat memainkannya,"
Permainan yg masih ia kerjakan itu menjadi alasannya belum berani memiliki pasangan. Ia hanya menyebar kabar, bahwa ia akan menikah. Itu akan, tapi nampaknya masih jauh.