Pikiran kita cenderung menolak rasa pahit. Tapi, Tuhan tahu bahwa pahit itu seringkali baik untuk manusia. Itu mungkin mengapa Ia meletakan rasa pahit di pangkal lidah, bukan di ujung._Jon Q_
"Ayah, mengapa manusia harus sakit?" tanya anak Jon saat menjenguk bibinya di rumah sakit. Dari balita, Jon memang sudah 'merangsang' anaknya agar suka bertanya. Karena dengan bertanya, pintu pemahaman terbuka. Seseorang tak perlu mendengar ceramah panjang lebar jika pemahamannya terbuka. Sebaliknya, pemahaman yg tertutup, ceramah/khotbah panjang seperti apapun akan lebih banyak percumanya.
Ia sering bertanya pada anaknya, semisal, "Permen ini warnanya apa?" atau "Kalau pagi langitnya cerah, kenapa ya?" dasar si Jon, anaknya yg balita saja ia coba untuk menyesatkannya.
"Karena segala sesuatu ada batas waktunya, termasuk rasa sehat," jawab Jon pendek.
"Tapi, apa manusia nggak bisa selamanya sehat, Yah?"
"Emm.. Tergantung maksud sehat yg kamu tanyakan,"
"Maksudnya?"
"Iaa.. Waktu kamu kena flu, misalnya. Kamu tetap bisa main layangan atau memancing. Itu 'kan nggak bisa disebut sakit?"
"Emm.. Iya, ya.." Jon kecil belajar memahami. "Tapi, aku nggak mau minum obat lagi ah, ayah juga kalau sakit nggak mau minum obat,"
Jon tertawa kecil.
"Tapi 'kan ayah minum jamu," kata Jon.
"Hoekk, jamu 'kan lebih pahit,"
"Tapi, rasa pahit itu baik buat diri kita,"
"Baik?"
"Iaa.. Kita akan kuat dengan yg pahit-pahit. Sebaliknya, kita akan lemah dengan yg manis-manis. Buktinya, gigi kamu sakit 'kan gara-gara kebanyakan permen?"
"Hehehe,"
"Rasa pahit itu baik, itu mungkin mengapa Tuhan meletakan rasa pahit di pangkal lidah," lanjut Jon.
"Karena kalau di ujung lidah, kita nggak akan mau menelannya?"
"Hehe, pinter,"