Difraction II

Java Tivi
0

8 Maret 2015 pukul 08.54
Kita tak selalu keluar sebagai pemenang. Dan memang bukan orientasi kita hidup hanya sebatas kalah&menang. Aku 'menghitung', seperti apapun kacaunya hari ini, itu masih dalam sebuah rencana. Tak ada hukum yg melarang kita untuk gagal, tapi satu yg dapat ku pastikan, aku tak akan pernah merasa lelah untuk kembali bangkit dari kejatuhanku yg berkali-kali itu._Jon Q_

Musyawarah buntu, masyarakat kembali panas. Jon menjadi 'bemper', dimarahi masyarakat, dimarahi kakaknya yg tak setuju dengan musyawarah itu, dan yg terpenting, 'difraction' kemarin yg telah berhasil, gagal. Ia telah 'menghitung' kemungkinan itu. Kehidupan lebih senang memberi 'lawan' yg tak mudah untuk ditundukannya.

"Apa yg harus ku lakukan, guru?" tanya Jon.

"Aku tahu kau akan gagal," jawab gurunya.

"Guru tahu? Dari apa, siapa?"

"Maafkan aku, Jon," ucap gurunya. "Cara yg ku sampaikan kemarin - difraction, itu memiliki tahapan rumit yg berlangsung lama. Atau paling tidak, memakan waktu. Kau memaafkanku, Jon?"

Jon mengangguk tertunduk. Kali ini ia nampak berpikir lebih berat. Bukan demi dirinya, tapi masyarakat, keluarganya, sekolah, juga masa depan siswa. Ia harus memilih, 'menekan' guru agar sekolah itu kuat melawan masyarakat yg tak senang, atau membuat semua pihak merasa menang. Tapi, yg kedua ini, nampaknya ia belum memiliki cara. Ia tersesat.

"Jadi, mereka tetap ingin sekolahmu pindah?" tanya guru Jon.
Ia mengangguk.

"Kau sudah tunjukan bukti hukum dari Kementerian Agama, bahwa domisili sekolahmu disana?"

"Mereka tak mau tahu,"

Guru Jon terdiam. Lama. Mereka saling diam.

"Kali ini, kau benar-benar tak punya rencana?" tanya guru Jon lagi.

Yg ditanya hanya tersenyum. Entah apa arti senyuman itu.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)