Guevara, Hanzalah, Al Ghifari

Java Tivi
0

Ketika siswa merasa bisa - sedang sebenarnya ia hanya menutupi rasa malu, merasa pintar, jangan dimarahi. Hindari kata-kata, bahasa, yg menghakimi bahwa ia tak bisa : meski sebenarnya ia memang tak bisa. Berikan treatmen, percobaan, ujian, soal, berkali-kali agar ia membuktikan sendiri bahwa ia sebenarnya tak bisa. Selanjutnya, gunakan pendekatan afirmatif, mengajak, meminta persetujuan agar ia mau dituntun, belajar bersama gurunya tentang itu.


Bodoh itu ada 2 - seperti sakit, bodoh yg tak bisa disembuhkan, kedua, bodoh yg tak mau disembuhkan. Untuk yg pertama - bodoh yg tak bisa disembuhkan, aku tak percaya. Sedang yg kedua, seorang guru harus seperti seorang 'psikopath', yg melukai seseorang dengan tersenyum senang. Dalam hal ini, adalah kebodohan yg salah tempat yg seharusnya dilukai, bahkan dimatikan. Lalu, adakah kebodohan yg tak salah tempat? Ada. Seekor burung tak perlu mahir berenang. Ia ahli dalam penerbangan, tapi tak apa bodoh dalam berenang.

Di sanalah beda antara guru dan pengajar. Seorang pengajar tak perlu peduli dengan kemanusiaan (akal, rasa/hati, kehidupan) muridnya. Ia hanya mengajar. Materi ajar selesai, tugas tuntas.
Sedang guru, adalah derajat 'bunuh diri'. Ia harus mencerdaskan manusia, yg belum tentu mau dicerdaskan, atau, justru menganggapnya sok tahu : belagu. Seorang guru sewajarnya 'membunuh' ego-nya, menomorduakan hidupnya, seperti seorang ksatria. Seperti Guevara yg tak nyaman dengan kasur dan keluarga yg menyenangkan. Seperti Hanzalah yg memilih perang daripada malam pertama yg begitu indah. Seperti Al Ghifari yg memilih menyepi dari keriuhan para sahabat yg mulai mengartisempitkan Islam.

Menjadi seorang guru adalah takdir 'bunuh diri', itu mengapa lebih menyenangkan menjadi pengajar, tukang ajar, buruh ajar. Dan itu saya : buruh ajar. Bukan orang lain.



Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)