14 Maret 2015 pukul 15.46
Segala sesuatu berawal dari niat. Selanjutnya, terwujud dalam tindakan. Apakah itu termasuk keburukan yg merusak - diri sendiri dan orang lain, ataukah sebuah kebaikan yg menciptakan keindahan. Keburukan akan hancur, seperti istana pasir, meski terlihat indah itu rapuh. Hanya kebaikan yg akan berdiri kokoh selama ia terus dipertahankan._Jon Q_
"Mengapa guru memberi nilai sama antara yg mencontek dan yg berusaha sendiri?" tanya murid Jon di pondok pesantrennya.
"Apa kau tak ikhlas?" tanya Jon balik.
"I.. Bukan begitu. Tapi..."
"Apa kau bangga jika, semisal, kau mencuri motor lalu memamerkannya pada banyak orang? 'Hei, lihat ini, motor saya dapat dari nyolong',"
Ia terdiam.
"Kau bohong, saat kau berkata 'telah berusaha sendiri'," kata Jon lagi.
"Lho, kok bohong? Aku tak mencontek, guru. Sumpah!" seru murid Jon.
"Mungkin kau benar, tak mencontek," Jon menjelaskan. "Tapi kau tak bisa mengerjakan itu hanya dari dirimu sendiri. Mengapa? Karena kau diajari guru, belajar bersama teman, yg intinya, tak ada satupun di dunia ini yg bisa berjalan dengan sendirinya,"
Murid Jon mencoba mencerna ucapan bijak yg ia katakan.
"Dalam qur'an, perumpamaannya adalah rumah laba-laba. Hewan itu diibaratkan sebagai hewan yg sombong, membangun rumah sendiri, yg akhirnya rapuh," lanjut jelasnya. "Berbeda dengan lebah - madu, semut, mereka bekerja sama dalam kebaikan yg indah. Satu yg harus kau ingat, Tuhan tak akan memberi tanggung jawab kehidupan pada orang-orang bersifat buruk,"
"Apakah mencontek itu buruk?" tanya murid Jon lagi.
"Di pandangan mata orang yg baik, itu suatu keburukan," jawab Jon berisyarat.
Di sisi lain, ia masih bertarung dengan masyarakat yg membenci sekolahnya. Mereka tak berhenti, meski dasar hukum telah jelas. Persoalan itu baik, bagi Jon sendiri, karena selain memberi batas pada sifat berlebihan yg tak disadarinya, ia tak 'kadiran'. Dari kata 'qudrat', kuasa, 'qodiron', maha kuasa. Permasalahan ini membuat hasratnya pada dunia semakin lenyap. Juga, kesadarannya bahwa mempertahankan kebaikan bukanlah dengan cara pasrah, atau menerima begitu saja. Mempertahankan kebaikan adalah dengan perjuangan keras, cerdas, lalu setelah semua upaya telah dilakukan, baru sampailah pada tahap tawakal : kepasrahan total pada Tuhan setelah ikhtiar. Ia tak mau berhenti pada tahapan muslim, orang yang memasrahkan diri pada Tuhan. Ia hendak meningkat pada mu'min, orang yang dengan keyakinan kuat mempertahankan apa yang oleh Tuhan diamanahkan. Persoalannya, ia sadar tak mungkin dalam hal ini menyelesaikan itu sendiri. Ia membutuhkan 'kekuatan lain'. Bukan hanya kekuatan dari orang-orang yang bersamanya berjuang, tapi juga dari Tuhan. Agar ia tak sombong ketika Tuhan membenarkannya, juga tak menyesal ketika memang hari itu ia masih dalam ujian besar.