Perkenalkan,
namaku uang. Tubuhku lemah, tapi orang-orang jelas lebih tertarik mengambilku
di jalanan daripada - bahkan – menyapa
manusia paling lemah di pinggir jalan : pengemis, gelandangan, PSK, dll. Aku
mengubah pandangan manusia menjadi ‘juling’, aku yang hanya kertas ini lebih
istimewa daripada manusia-manusia lemah yang oleh Tuhan justru diminta untuk
menolong mereka.
Orang-orang
merebutkanku, siap mengubah sikap demi aku, siap berbohong, mengkhianati teman,
bahkan saling bunuh sesama karena aku. Sebenarnya, ada satu lagi yang
menjadikan manusia pada umumnya berkorban mati-matian, yaitu saudara kandungku,
jabatan. Tapi aku sudah jelas lebih menarik untuk diperebutkan dan tanpa gelar,
tidak seperti jabatan. Aku lebih powerfull. Manusia menganggap dengan banyak
memiliki aku, mereka mampu membeli apapun, termasuk wanita. Mereka lupa, aku
mampu membeli obat dan menyewa dokter paling mahal, tapi aku sama sekali tak
bisa membeli kesembuhan. Aku mampu membeli rumah, besar bahkan mewah, tapi aku
tak bisa membeli kebahagiaan dalam keluarga. Banyak suami-istri berpisah justru
karena aku. Anak-anak terjerumus narkoba, seks bebas, karena mereka menganggap
banyak uang menjamin segala hal. Aku bisa membeli makan siang, tapi tak pernah
bisa aku membeli persahabatan. Aku bisa membeli seragam, tapi tak bisa aku
membeli kemuliaan. Denganku manusia bisa memanen pujian dari banyak orang, tapi
aku tak menjamin kesetiaan apalagi ketulusan. Aku tak seharusnya dimiliki
orang-orang kaya yang justru membuatnya semakin miskin.
Kadaal faqru an yakuna kufron, kefakiran
dekat dengan kekafiran. Hadits lemah ini diajarkan oleh Imam Al Ghazali dalam
bukunya ‘Ihya Ulumuddin’ (Menghidupkan ilmu-ilmu agama). Dijelaskan oleh Sofyan
Ats Tsauri, seorang tabi’in beberapa abad sebelum Imam Al Ghazali, yang
dimaksud kefakiran di sana adalah ‘fakir hati’, kemiskinan iman. Ketika rasa
malu meminta pada manusia telah berangsur hilang. Tak malu lagi meminta ini itu
pada manusia, terlebih lagi bergantung pada uang.
Dalam
satu ceramahnya, Caknun (Emha Ainun Nadjib) pernah menjelaskan bahwa miskin itu
baik, tapi fakir itu kondisi yang harus ditolong. Sebaliknya, kaya itu bahaya.
Beliau melanjutkan, orang kaya yang masih mencari, bahkan mengumpulkan kekayaan
dunia, dialah si miskin yang sebenarnya. Orang yang kaya sudah tak mencari
harta lagi. Sudah tak cari uang lagi. Orang yang mencari kekayaan adalah orang
miskin. Orang yang hidup di dunia dan mencari dunia adalah orang bodoh. Hidup
di dunia kok mencari dunia? Seperti kita sudah sampai di sebuah sungai, tapi
kita mencari-cari sungai. Hidup di dunia itu mencari akhirat.
Orang yang sudah kaya, dalam makna denotasi ataupun konotasinya, dia tak akan mencari kekayaan lagi, ataupun uang. Tahap yang lebih tinggi dari mencari uang adalah mencari rezeki, yang bukan Cuma berwujud materi – uang. Tetapi apapun juga yang membahagiakan jiwa : teman, menolong sesama, bahkan senyuman adalah rezeki. Atau yang lebih tinggi, orang kaya seharusnya mencari keikhlasan Tuhan, atau yang paling puncak adalah mencari Tuhan. Bukan sebaliknya, mencari uang dan harta lalu kita anggap itu sebagai Sang Penguasa : Tuhan. Dari tahapan terrendah – miskin, mencari uang, lalu meningkat ke derajat yang lebih tinggi yaitu mencari rezeki, keikhlasan Tuhan, bahkan Tuhan.
Aku tak
bisa memasuki hati orang-orang yang dalam hatinya terus mencari Tuhannya. Dalam
hatinya, aku tak berharga. Mereka membutuhkan aku, tapi hanya sekedarnya. Aku
ada di tangan mereka, tapi tidak di hati mereka. Andai aku punya perasaan, aku
pasti sakit hati. Seperti seseorang yang memiliki raga kekasihnya, tapi tidak
dengan hatinya. Karena hati orang-orang yang terus mencari Tuhannya, telah
dimiliki oleh-Nya.