Suatu malam masuk pesan Whatsapp dari
seorang teman lama, “Mas, mau nggak temani saya ke guru mengaji kita, saya mau
nikah ulang?”
Pembaca paham maksudnya? Nikah ulang
dalam Islam, kalau bukan karena talak (cerai) 3, maka itu adalah ‘kecelakaan’.
Menikah dengan alasan perempuannya sudah hamil lebih dulu. Sebagai seorang
teman, saya cukup kaget mengetahui teman lama saya ternyata ‘begitu’. Bukan karena
tak mungkin, tapi memang selain saya tak terbiasa mencurigai seseorang,
penampilan sehari-hari nampak alim. Seakan tidak mungkin dia dengan ritual
ibadah yang taat memiliki masa silam yang kelam. Secara ilmu fiqh, ada
kesepakatan ulama bahwa menikah dalam kasus seperti itu, harus nikah ulang.
Maka orang-orang yang datang ke pernikahan yang mempelai perempuannya telah
hamil lebih dulu dihukumi mubah : jelek. Kecuali jika memang benar-benar tidak
tahu. Seorang siswa pernah bertanya tentang ini, bagaimana kita bisa
menengoknya jika mendatangi pernikahannya dilarang? Datangi dia, setelah
pernikahan selesai. Karena mendatangi undangan pernikahan seperti itu seakan
kita melegalkan (menghalalkan) menikah dengan dasar zina.
“Oke bro, nanti kalau sampean pulang Insya
Allah saya temani kesana,” dia di Jakarta, sedang saya di Tegal.
Dia salah satu teman yang saya ajak
mengaji pada seorang guru sufi di Kabupaten kami. Tidak pernah menyangka, kalau
ternyata dia juga punya masa lalu yang tak enak diingat. Setiap orang punya
itu, bukan? Dulu, ia cuma pernah cerita tentang pekerjaannya di klub malam /
karaoke. Tentang kebiasaannya meminum minuman keras. Juga tentang mantan
kekasihnya yang tiba-tiba datang meminta dinikahi, lalu setelah diselidiki
ternyata dia sudah dihamili orang lain. Sebagai laki-laki kita akan dilema jika
dalam posisi itu. Tapi saya tak pernah benar-benar peduli dengan masa lalunya.
Saya emoh memikirkan kehidupan
privasi orang lain, apalagi tentang masa silamnya yang tak menyenangkan. Saya
hanya peduli, bahwa dia ingin berubah, ingin hijrah, ingin belajar lagi. Dan memang setiap orang seharusnya
justru ada di samping temannya saat ia membutuhkan pertolongan. Apalagi ini
tentang kehidupan dunia-akhirat. Setiap pendosa punya masa depan, dan setiap
orang suci punya masa lalu. Bukan bagaimana kita mengawali hidup ini dulu,
bukan seberapa suram masa lalu kita, melainkan bagaimana kita memperbaiki dan
mempersiapkan diri untuk masa depan. Biarkan masa lalu tetap berada di
tempatnya – ‘di sana’, kita tak berada di sana lagi. Menyalahkan diri sendiri –
apalagi orang lain, hanya akan memberatkan langkah kita ke depan. Terima, dan
belajarlah bangkit kembali meski berat dan pelan-pelan. Fa’fu washfahu, maafkan (diri kita) dan berlapang dada-lah.
Lemahnya pendidikan karakter
(moral/akhlak) menjadikan masyarakat kita mudah terbawa opini. Hasud dan ujaran
kebencian (apalagi hoax) menyebar sangat cepat. Tidak ada semangat mencari
lagi, bertanya, mengkroscek, tabayun
(mediasi). Orang-orang seperti teman saya itu, sialnya, lebih sering bertemu
dengan orang-orang yang antipati. Menganggap hina mutlak, pendosa, Tuhan murka,
atau bahkan diancam neraka. Seakan-akan hidupnya tak memiliki kesempatan lagi untuk bertaubat. Kita yang mendengar
persoalan seperti itu cenderung berpikiran negatif, bahwa orang-orang seperti
itu sudah tentu buruk. Kehidupan sosial lebih sering tak bisa dihitung-hitung
secara pasti seperti matematika. Sudah menganggap mereka buruk, menyebarkan
gosip, merasa suci, tak bisa memberi solusi pula. Kampret.
Seorang siswa bertanya tentang WTS
(Wanita Tuna Susila), apakah Tuhan akan menerima taubatnya setelah puluhan
bahkan ratusan kali berzina? Saya jawab, iya. Bagaimana jika setelah taubat,
dua hari kemudian berzina lagi, lalu taubat lagi subuhnya? Saya jawab, iya. Dia
tanya sekali lagi seperti itu, dan saya jawab sama. Sebesar apapun dosa /
kesalahan manusia, ampunan Tuhan masih lebih besar daripada itu. Ada kisah
tentang seorang WTS di jaman Nabi Musa yang dijamin masuk surga.
Kisah tentang perempuan pezina, yang
dalam perjalanan menuju seorang mursyid untuk bertaubat dan di tengah
perjalanan itu dia meninggal kelelahan, kehausan. Ia lebih memilih menolong
seekor anjing yang sama-sama kehausan di dekat sumur. Lebih memilih berjuang
mati-matian menjaga air agar tidak habis dari terompahnya yang digunakan untuk
mengambil air. Lebih memilih menahan dahaga dan lelah kehausan – terlebih
menahan sakit tersiksanya hasrat bertaubat, hanya untuk seekor anjing.
Setiap teringat kisah ini, ingatan saya
terkenang dengan seorang guru yang bercerita tentang Rumi (Jalaludin Rumi) dan
seekor anjing kotor di pinggir jalan.
“Mengapa engkau memberi roti-mu pada anjing
kotor seperti itu?” tanya seseorang pada Rumi.
Jawab Rumi, “Aku tak melihat ia adalah
seekor anjing. Aku memberi roti pada diriku sendiri,” kisah religius yang
‘terlalu dalam’.
Kita dididik dari kecil dengan asuhan
yang lebih banyak menyimpang di masyarakat. Kita tak bisa menyebut malam untuk
siang, malam ketika gelap, siang ketika terang. Seorang pezina disebut pezina
saat ia sedang berzina. Ketika dia sedang berdoa, dia sedang bersujud menangisi
masa lalunya, dia seorang hamba. Kata-kata cenderung sepele, tapi ketika itu
telah melukai perasaan, bisa jadi akibatnya sangat fatal. Pezina atau orang
suci, selama masih hidup mereka sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk
bertaubat. Manusia tak bisa mengukur kesucian hati seseorang, hanya Tuhan yang
memiliki ‘alat ukur’ itu. Mungkin dia pernah berbuat jahat, tapi bukan berarti
dia adalah penjahat. Siapa di antara kita yang tak pernah berbuat jahat? Tak
pernah berbuat ceroboh atau kesalahan fatal yang kita menyesalinya sampai saat
ini? Termasuk juga sebutan pencuri, penjudi, pemabuk, dan lain-lain. Agar
ketika kita mendekati mereka, kita menerima mereka sebagai seorang manusia
biasa seutuhnya. Memiliki sisi terang dan gelap. Bisa salah, bisa juga
melakukan sesuatu yang benar. Manusia memiliki hak untuk berbuat salah, sebesar
hak-nya untuk berbuat kebaikan/kebenaran. Kita menganggap diri kita sama,
egaliter, dan di hadapan Tuhan hanya takwa saja yang membedakan. Dan takwa,
kita tak bisa memastikan itu pada diri kita apalagi orang lain. Hanya Tuhan
yang mampu mengukur itu.
Tidak semua orang melakukan dosa, entah
itu berzina ataupun mencuri, melakukan itu karena keinginan dan dilakukan
dengan senang hati. Suatu perbuatan tak mungkin berdiri sendiri tanpa sebab
yang bisa diterima, meskipun tak harus selalu masuk akal. Seorang WTS/PL
misalnya, tidak semua perempuan yang sedang tersesat itu menikmati
pekerjaannya. ‘Harga’ mereka menurun dahsyat lebih cepat daripada turunnya
harga barang-barang mewah seiring berjalannya waktu. Lagipula, perempuan mana
yang saat kecil bercita-cita menjadi PL / WTS? Bisa jadi, para pezina, termasuk
temanku itu di masa lalu, melakukan dosa karena kita sebagai teman tak peduli
padanya. Kita tak menemaninya dengan tabah, tetap berada di jalan Tuhan meski
berat.
Ketika saya menerima pesan WA itu, saya
termenung. Lebih baik manakah, teman saya itu yang sangat ‘tersiksa’ karena
dosanya dan berjalan dalam kebaikan. Atau saya yang seakan tak ada peningkatan
kebaikan? Jangan-jangan saya sudah merasa menjadi orang baik, orang yang benar?
Menjadi orang yang dalam pikirannya menganggap setan adalah musuhnya. Sedang
yang sebenarnya justru aku dalam jalan setan yang diam-diam menuntun saya
pelan-pelan?
Innahu
yarookum huwa wa qobiuhu min haitsu la tarownahu
Setan dan para
pengikutnya melihat kita dari suatu tempat yang kita tak tahu di mana