Samudera Kesabaran

Java Tivi
0
18 Februari 2015 pukul 19.15

Terkadang, keterpurukan adalah pelajaran paling berharga. Kita tak mengerti, membenci, sesuatu yang sebenarnya sangat kita butuhkan._Jon Q_

Malam itu Jon sedang asyik menulis, ketika seorang teman lama mengajaknya keluar rumah. Jam menunjukan pukul 8 malam, sudah cukup lelah, dan kerjaan masih banyak. Tapi, ia tahu, jika teman polosnya ini menghubunginya malam-malam, sangat mungkin itu penting. Seorang teman yang sangat polos, bahkan guru mengaji mereka pun geregetan dengan kepolosan teman Jon itu. "Mbok ya jangan gitu (polos) banget," kata beliau suatu saat.



Lelah fisik, tapi tidak dengan pikiran. Jon pun keluar dengan motor bututnya.

Seminggu lalu, dia sudah lelah dengan mempermalukan dirinya mengemis di satu bank swasta kota. Hidup dengan rasa takut memang mengerikan. Ia takut, guru-guru sekolahnya tak mendapatkan haknya tepat waktu. Tapi, Jon tahu, keterpurukan tak bisa membuatnya merasa gagal. Setiap hari baginya adalah pelajaran. Dan pelajaran paling berharga terkadang adalah apa yang sangat ia benci, tapi tak kuasa menolaknya. Seperti malam itu, tubuhnya yang sudah memanas, agak masuk angin, bolak-balik ke toilet, ia niatkan untuk menemani temannya itu. Hujan di luar sudah berhenti, hanya menyisakan banjir di jalanan yang ia lewati.

"Kok pakai sarung?" tanya Jon ke temannya.

"Ya nggak apa-apa, lebih nyaman ini," jawabnya.

Jon pikir temannya cuma mau silaturahim saja, tapi kalau pakai sarung mungkin saja mau ke pengajian.

Sesampainya di kabupaten, kedinginan selama perjalanan, di sana diceramahi oleh ustadz kampung yang menolak diskusi. Jon pikir, kasihan benar masyarakat perkampungan, mendapatkan pencerahan dari seorang yang tak mau diingatkan ilmunya. Jon akhirnya tertidur bertopang tangan. Beberapa kali ia mengajak diskusi dari apa yang diucapkan sang ustadz, beliau menolak. Ia pikir, untuk apa menanggapi burung berkicau? Mungkin itu mengapa Jon tak mau dipanggil ustadz. Selain karena bukan maqam-nya, ustadz atau kyai adalah simbol ketertutupan modernisasi. Menjadi orang yang sudah cukup dengan ilmu pengetahuan, enggan ditegur, enggan menerima kebenaran sekalipun dari orang gila macam si Jon. Dari perbincangan itu, Jon menyimpulkan bahwa kemuliaan seorang ulama bukan pada ucapannya, tapi pada kesabarannya mendengarkan sesuatu yang sebenarnya omong kosong.

"Nyampe rumah nggak ya?" gumam Jon sambil menyetir. Badannya menggigil, tapi tak diketahui temannya yang memboceng itu. Saking polosnya, dia bercerita terus tentang banyak hal. Jon lebih sering tertawa - untuk menghangatkan badannya, sekalipun apa yang diceritakan temannya itu tak lucu. Ia menghirup nafas panjang berkali-kali, agar otaknya tak kehabisan oksigen. Ia tahu, jika otak kekurangan oksigen saat ia menyetir, bisa sangat gawat. Lututnya sudah mulai dingin. Telapak kaki sudah mulai kram. Paginya ia tak berangkat sekolah. Meditasi di kamarnya, merenungkan apa yang ia dapatkan semalam, selain rasa sakit.

Samudera kesabaran

Seperti menjelajah samudera kesabaran
Sendiri kau gerakan sampan
Apa yang masih kau cari lagi?
Bukankah semua ini telah begitu indah?

Sampai ini aku masih tak percaya
Dengan kehidupan yang berjalan
Begitu sempurna seperti mimpi
Tak ada kesedihan yang berani datang lagi

Membayangkan saja aku tak mampu
Atau mungkin tak mau
Hari ketika kebahagiaan lebih dari ini
Dengan dia yang duduk menemani di senja hari

Tapi waktu seakan mengikat kakiku
Di sini, di hari yang begitu dingin dan sepi
Tak bisa aku berlari
Meraih apa yang belum saatnya ku miliki

Seperti menjelajahi samudera kesabaran
Bayangannya yang melambaikan tangan
Harus ku balas hanya dengan senyuman
Di atas sampan ini ku harus bergerak melawan gelombang
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)