22 Februari 2015 pukul 13.49
Ia mendesak untuk diungkapkan. Pikiran dapat direkayasa, tapi tak bisa terus menerus ditekan, atau hidup dalam kepalsuan.
"Hidupmu sudah jelas. Kau akan kawin dengan seorang kaya. Dan dalam lingkungan itu, kau akan hidup dalam dunia yg sempit, penakut, dan tertekan. Lalu kau akan jadi tante-tante. Persoalan dunia hanya menjadi gosip - omong kosong. Padahal hidup jauh lebih menarik dari itu," Gie.
Sudah lama aku ingin menulis ini. Di halaman berapa dulu aku membaca statemen Gie itu - lupa, baru bisa dilihat lagi. Rollercoaster nampak menakutkan jika kita hanya melihatnya. Tapi dalam ketakutan itu, kita tak bisa menyembunyikan perasaan bahwa kita ingin mencobanya. Lalu kita baru benar-benar paham, bahwa melihat/mendengar itu tak lebih menarik daripada merasakan atau mengalami. Menjadi seorang penonton selalu begitu emosional, daripada benar-benar mengalaminya.
Tapi sepertinya manusia selalu memiliki 'kegaiban'. Ada satu titik perkembangan jiwa, ketika manusia tak mudah dipengaruhi apapun, sama sekali. Dari pandangan matanya 'kosong', dari panas tubuhnya ia 'normal', ia tak mudah dibaca perasaannya. Semacam mengalami katarsis (pelepasan emosi) tanpa reaksi apa-apa : kejang, menangis, dll. Seperti berada dalam suasana meditasi terus menerus, meski sambil bekerja keras.
Ketika Gie memberi pertanyaan, "Mengapa aku harus terus menerus jadi orang baik? Sometimes i just want be myself," maka hanya pelepasan 'label' (baik, buruk) itulah yg bisa dilakukan. Sometimes we confused where the good and where the bad, especially in the love case.
"Hidupmu sudah jelas. Kau akan kawin dengan seorang kaya. Dan dalam lingkungan itu, kau akan hidup dalam dunia yg sempit, penakut, dan tertekan. Lalu kau akan jadi tante-tante. Persoalan dunia hanya menjadi gosip - omong kosong. Padahal hidup jauh lebih menarik dari itu," Gie.
Sudah lama aku ingin menulis ini. Di halaman berapa dulu aku membaca statemen Gie itu - lupa, baru bisa dilihat lagi. Rollercoaster nampak menakutkan jika kita hanya melihatnya. Tapi dalam ketakutan itu, kita tak bisa menyembunyikan perasaan bahwa kita ingin mencobanya. Lalu kita baru benar-benar paham, bahwa melihat/mendengar itu tak lebih menarik daripada merasakan atau mengalami. Menjadi seorang penonton selalu begitu emosional, daripada benar-benar mengalaminya.
Tapi sepertinya manusia selalu memiliki 'kegaiban'. Ada satu titik perkembangan jiwa, ketika manusia tak mudah dipengaruhi apapun, sama sekali. Dari pandangan matanya 'kosong', dari panas tubuhnya ia 'normal', ia tak mudah dibaca perasaannya. Semacam mengalami katarsis (pelepasan emosi) tanpa reaksi apa-apa : kejang, menangis, dll. Seperti berada dalam suasana meditasi terus menerus, meski sambil bekerja keras.
Ketika Gie memberi pertanyaan, "Mengapa aku harus terus menerus jadi orang baik? Sometimes i just want be myself," maka hanya pelepasan 'label' (baik, buruk) itulah yg bisa dilakukan. Sometimes we confused where the good and where the bad, especially in the love case.