20 Maret 2015 pukul 06.25
Saat kau melihat sesuatu yg mampu kau perbaiki, jangan menunggu orang lain untuk melakukan itu. Orang picik bekerja demi penganggapan baik orang lain. Dan orang-orang besar, melakukan sesuatu demi kebahagiaan, seperti apapun menyusahkannya sesuatu itu_Jon Q_
"Maafkan aku yg terlalu misterius," ucap Jon pada keluarganya. "Ada kesulitan yg sangat besar, bagaimana caranya aku menjelaskan hidupku pada orang lain. Aku seperti sebuah kue ulang tahun di dalam kotak peti mati. Tak ada yg mau menyentuh, mengambil potongan dan merasakannya, atau bahkan mengintip pun tidak,"
Persoalannya mungkin bukan pada misterius/tak dapat diduga tindakan-tindakannya (unpredictable), tapi tentang totalitas belajar menjadi manusia yg 'sempurna'.
Bangsa ini telah kehilangan kejujurannya, terlebih lagi keyakinan bahwa seseorang itu benar-benar 'murni' : tak berpamrih. Orang sering menyalahkan 'udang' di balik batu, kepamrihan yg tersembunyi. Dan pemahaman itu seakan telah paten, bahwa memang tidak ada satupun lagi manusia yg bersih dari pamrih.
"Jika aku adalah orang yg paham, mengapa tak mau bersama bekerja dan belajar denganku? Jika aku bodoh, mengapa aku diberikan tanggung jawab besar?" tanya Jon retoris. "Jangan marah. Kemarahan, jiwa yg sensitif dan emosional, itu tanda ibadah kita tak membekas, dan akal kita dangkal. Jika kita berilmu, mengapa berhenti belajar? Bukankah seorang ulama/ilmuwan (orang yg berilmu) ditandai kontinyuitasnya dalam belajar? Jika kita bodoh, mengapa tak mau belajar lebih banyak?"
Dan ia tahu, pertanyaannya 'mengambang'. Tak ada yg bisa menjawabnya di sana, kecuali Jon sendiri. Seperti sebuah kue yg tak satupun orang mau menikmatinya, hanya karena terbungkus peti. Kebaikan tetap kebaikan, meski dibungkus wadah yg tak menarik.
Saat kau melihat sesuatu yg mampu kau perbaiki, jangan menunggu orang lain untuk melakukan itu. Orang picik bekerja demi penganggapan baik orang lain. Dan orang-orang besar, melakukan sesuatu demi kebahagiaan, seperti apapun menyusahkannya sesuatu itu_Jon Q_
"Maafkan aku yg terlalu misterius," ucap Jon pada keluarganya. "Ada kesulitan yg sangat besar, bagaimana caranya aku menjelaskan hidupku pada orang lain. Aku seperti sebuah kue ulang tahun di dalam kotak peti mati. Tak ada yg mau menyentuh, mengambil potongan dan merasakannya, atau bahkan mengintip pun tidak,"
Persoalannya mungkin bukan pada misterius/tak dapat diduga tindakan-tindakannya (unpredictable), tapi tentang totalitas belajar menjadi manusia yg 'sempurna'.
Bangsa ini telah kehilangan kejujurannya, terlebih lagi keyakinan bahwa seseorang itu benar-benar 'murni' : tak berpamrih. Orang sering menyalahkan 'udang' di balik batu, kepamrihan yg tersembunyi. Dan pemahaman itu seakan telah paten, bahwa memang tidak ada satupun lagi manusia yg bersih dari pamrih.
"Jika aku adalah orang yg paham, mengapa tak mau bersama bekerja dan belajar denganku? Jika aku bodoh, mengapa aku diberikan tanggung jawab besar?" tanya Jon retoris. "Jangan marah. Kemarahan, jiwa yg sensitif dan emosional, itu tanda ibadah kita tak membekas, dan akal kita dangkal. Jika kita berilmu, mengapa berhenti belajar? Bukankah seorang ulama/ilmuwan (orang yg berilmu) ditandai kontinyuitasnya dalam belajar? Jika kita bodoh, mengapa tak mau belajar lebih banyak?"
Dan ia tahu, pertanyaannya 'mengambang'. Tak ada yg bisa menjawabnya di sana, kecuali Jon sendiri. Seperti sebuah kue yg tak satupun orang mau menikmatinya, hanya karena terbungkus peti. Kebaikan tetap kebaikan, meski dibungkus wadah yg tak menarik.