21 Februari 2015 pukul 13.02
Ada 4 tugas, paling tidak yg dimiliki para ulama/ilmuwan. Pertama, terus belajar. Kedua, menyampaikan. Ketiga, rendah hati dengan cara - keempat, menjaga mulut menyesuaikan pemahaman teman bicara/dengan siapa mereka bicara.
Di jaman sebelum masehi, begitu banyak manusia-manusia unggul (berilmu) yg mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Mereka tersadar, betapa ilmu menjadikan hidupnya begitu 'berat'.
Semua pertanyaan membalik padanya : Mengapa aku? Mengapa aku sendiri? Semua orang memiliki kepala, mengapa tak semua orang 'memiliki' ilmu?
Jawaban pun dari dirinya sendiri, "Mengapa tak kau sampaikan saja apa yg kau punya itu?"
Di satu sisi, manusia harus terus belajar, tapi di sisi lain ia harus rendah hati. Sedang ilmu begitu 'panas', tak ada orang awam yg tertetesi ilmu kemudian dia tetap tenang. Ia akan kalap, ingin agar orang tahu bahwa ia tahu tentang ilmu itu. Sedang sebenarnya ilmu setetes itu tak seberapa.
Di satu sisi harus menyampaikan, di sisi lain harus menyesuaikan bahasa teman bicara. Akan mudah jika ia memang sangat ingin belajar. Tapi bagaimana jika, pertama, ia memaksa ingin tahu semua pengetahuan yg bukan 'maqam'-nya, kedua, penyampaiannya teranggap sebagai omong kosong karena tiap orang punya kecenderungan merasa pintar?
Itu mengapa, mereka, orang-orang di atas, memilih bunuh diri.
Di jaman edan, ilmu menjadi tahapan rendah. Manusia harus belajar sampai ia 'gila', agar mampu menuntun orang-orang gila yg tak merasa gila.
Gila? Siapa yg mau?