5 Februari 2015 pukul 17.12
Kebenaran dalam konteks manusia akan selalu relatif. Kebenaran mutlak, tak bisa diraih manusia, kecuali bukan dalam wujud manusia._Jon Q_
Raut wajah Jon tiba-tiba murung. Kami menunggu maghrib di halaman depan rumahku. Berbeda dengan anak muda yg gila media sosial, yg ketika maghrib datang, memamerkan puasanya, si Jon sebaliknya : dia tak menganggap puasanya sebagai puasa.
"Kenapa lu tiba-tiba murung? Gak tahan banget seh tunggu maghrib," aku terkekeh.
"Ini, lihat," Jon menunjukan layar henponnya.
"Sudah saya transfer. Semoga dimanfaatkan di jalan Allah," bunyi sms itu.
"Lah, apa masalahnya?" tanyaku.
"Pertama, aku benci mengemis. Ini salah satu ujian terbesarku. Benar-benar dilematis," Jon mendesah, mengeluh, wajah murungnya tak berubah. Dia jenis makhluk yg berani lapar melebihi hewan. Tipe orang yg menjauh diri dari merendahkan diri, 'mengemis', bergantung pada orang lain. Tak heran, tubuhnya istikomah dalam kekerempengan. "Kedua, aku tak paham apa yg dimaksud 'jalan Allah'. Orang melakukan jihad dengan menyiksa manusia lain yg cinta damai, mengaku berjuang di jalan Allah. Mempermewah masjid, pengajian indoktrinasi, training motivasi islam, training sholat khusyu', mereka mengaku fi sabilillah. Tapi kok hidup mereka jauh dari seperti Nabi?"
"Lu itu dasar suka memperumit sesuatu. Tinggal pakai saja buat sekolahmu itu, tak usah bicara jalan Allah segala-lah. Toh apa yg lu lakukan sebenarnya gak lu inginkan, kan?"
"Yg bertarung tuh, di sini," Jon menunjuk kepalanya. "Perang batin. Setan meneriaki jiwaku, agar aku juga berteriak, tentang apa yg aku minta itu bukan untukku. Seringkali, pertarungan ini membuatku ingin lari,"
Aku tertawa.
"Lah, lu pilih jalan nyaman, Jon? Haha,"
"Daripada menganggap berada di jalan Tuhan, mungkin lebih baik seperti kebanyakan manusia, pilih jalan nyaman,"
"Lu sendiri yg bilang, tak ada jalan pintas dalam keimanan. Tapi sekarang malah ingin lari," kataku menanggapi.
"Aku bilang 'seakan'. Tak akan lari selangkahpun, sampai kapanpun,"
Kebenaran dalam konteks manusia akan selalu relatif. Kebenaran mutlak, tak bisa diraih manusia, kecuali bukan dalam wujud manusia._Jon Q_
Raut wajah Jon tiba-tiba murung. Kami menunggu maghrib di halaman depan rumahku. Berbeda dengan anak muda yg gila media sosial, yg ketika maghrib datang, memamerkan puasanya, si Jon sebaliknya : dia tak menganggap puasanya sebagai puasa.
"Kenapa lu tiba-tiba murung? Gak tahan banget seh tunggu maghrib," aku terkekeh.
"Ini, lihat," Jon menunjukan layar henponnya.
"Sudah saya transfer. Semoga dimanfaatkan di jalan Allah," bunyi sms itu.
"Lah, apa masalahnya?" tanyaku.
"Pertama, aku benci mengemis. Ini salah satu ujian terbesarku. Benar-benar dilematis," Jon mendesah, mengeluh, wajah murungnya tak berubah. Dia jenis makhluk yg berani lapar melebihi hewan. Tipe orang yg menjauh diri dari merendahkan diri, 'mengemis', bergantung pada orang lain. Tak heran, tubuhnya istikomah dalam kekerempengan. "Kedua, aku tak paham apa yg dimaksud 'jalan Allah'. Orang melakukan jihad dengan menyiksa manusia lain yg cinta damai, mengaku berjuang di jalan Allah. Mempermewah masjid, pengajian indoktrinasi, training motivasi islam, training sholat khusyu', mereka mengaku fi sabilillah. Tapi kok hidup mereka jauh dari seperti Nabi?"
"Lu itu dasar suka memperumit sesuatu. Tinggal pakai saja buat sekolahmu itu, tak usah bicara jalan Allah segala-lah. Toh apa yg lu lakukan sebenarnya gak lu inginkan, kan?"
"Yg bertarung tuh, di sini," Jon menunjuk kepalanya. "Perang batin. Setan meneriaki jiwaku, agar aku juga berteriak, tentang apa yg aku minta itu bukan untukku. Seringkali, pertarungan ini membuatku ingin lari,"
Aku tertawa.
"Lah, lu pilih jalan nyaman, Jon? Haha,"
"Daripada menganggap berada di jalan Tuhan, mungkin lebih baik seperti kebanyakan manusia, pilih jalan nyaman,"
"Lu sendiri yg bilang, tak ada jalan pintas dalam keimanan. Tapi sekarang malah ingin lari," kataku menanggapi.
"Aku bilang 'seakan'. Tak akan lari selangkahpun, sampai kapanpun,"