In the peace II

Java Tivi
0
15 Februari 2015 pukul 11.45
Perenungan ibarat sungai. Jika kau ingin hanyut, maka kau harus besarkan (kuatkan) arusnya. Dua hal, bagaimana membesarkan arus itu, dan tak semua orang berani tenggelam, itu mungkin permasalahannya._Jon Q_

"Einstein berkata : Tuhan tak sedang bermain dadu di 'atas sana', tapi menurutku, Tuhan tak hanya melempar dadu, tapi Dia juga menyembunyikannya, agar tak seorangpun tahu," ucap Jon menirukan Hawking.

Pemikirannya 'abnormal', belagu, membuatku bingung, bagaimana mungkin Tuhan bermain dadu? Dadu? Tuhan memangnya sedang berjudi?

"Waktu, adalah ilusi yg keras kepala," kata Jon lagi menirukan Einstein. "Kita hidup dalam 'sketsa' yg kita ciptakan sendiri. Kita tak akan pernah sampai pada asal mula semua ini, jika kita tak melihat sesuatu di luar sketsa yg kita buat sendiri,"

Jon memberikan contoh dengan kecepatan cahaya.

"Jika waktu diperlambat, kita ada. Tapi jika waktu dipercepat, hingga kecepatan tertinggi, kita akan menghilang : menuju ketiadaan,"

"Mungkin itu yg dimaksud dalam al ashr, ya?" tanyaku pura-pura paham.

"Waktu lebih penting daripada apa saja di dunia ini, termasuk uang," lanjutnya. "Tapi pikiran kita yg dangkal, membuat kita mudah membuang-buang waktu. Ketika masa tua datang, kita menyesal telah membuang banyak waktu, sedang uang yg kita kumpulkan sama sekali tak bisa memberi jaminan apapun setelah ini. Waktu habis, uang yg terkumpul akan kita tinggalkan, bahkan bisa jadi itu menjadi sumber keributan,"

"Tapi, mungkin yg pertama harus diberikan pada manusia bukanlah kebahagiaan, kondisi seperti sebelum lahirnya sang waktu, tapi bagaimana menghidupkan pikiran, yg dimatikan oleh dunia." ucapnya lagi. "Kebahagiaan dimiliki oleh ia yg telah sampai pada dirinya sendiri sebelum ia terpenjara waktu. Melampaui 'sketsa' manusia, melintasi tingkatan-tingkatan waktu yg membelenggu. Barangkali, itu alasan manusia pada umumnya tak boleh 'tahu' dimana Ia menyembunyikan dadu-Nya,"

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)