24 Januari 2015 pukul 20.41
Kita hidup dari apa yg kita peroleh. Tapi kita memperoleh kehidupan (kebahagiaan) dari apa yg kita beri - bagi._W.Churchill_
"Iku pati. Ngelmu pati sakderenge pati ingkang saestune," jawab sang Sunan. Sembahyang itu belajar mematikan diri - keinginan, sebelum kematian yg sebenarnya. Sebelum jasad hancur, dan hanya tersisa ruh yg lebih tersesat dibanding ketika masih berwujud manusia. Ruh yg tersesat, karena ia yg seharusnya kembali pada asal (Tuhan), masih terikat dengan dunia.
Kisah Habil dan Qobil mengawali tradisi zakat (membersihkan, mensucikan), sebelum munculnya kisah pengurbanan ala Ibrahim dan anaknya, Ismail. Seperti kata Rumi saat mendengar air yg berbicara pada kain yg kotor.
Air berkata, "Mari, sini, mendekatlah padaku,"
"Tidak. Aku malu dengan kekotoranku," kata kain.
"Bagaimana mungkin engkau dapat membersihkan rasa malu dan kotormu itu, tanpa aku? Mendekatlah, aku selalu menerimamu,"
Selalu saja, kebenaran tak perlu meminta izin pada telinga dan mata. Karena kebenaran mampu merasuk ke dalam hati, meski mata dan telinga tak menyadarinya.
"Sembahyang iku nora mung awan bengi, namung iku urip saestune," kata sang Sunan lagi. Sembahyang sebagai simbol penyerahan diri pada Sang Kebaikan. Inti dari ritual itu bukan pada gerakannya, tapi pada jiwa tiap pelakunya ketika ia mampu membawa nuansa sembahyang (sholat) pada kehidupan sehari-hari. Jika menggunakan bahasa Gandhi, membawa nuansa meditasi dalam tiap langkah dan hembusan nafas.
Aqimisholah wa i'taz zakat, dirikanlah sholat dan zakat. Ayat itu terus bergandengan. Setelah berjanji pada Diri Yg Maha Besar, pembuktiannya dilakukan dengan 'zakat' : berbagi. Yg menjadi simbol/tanda berkurang, atau bahkan hilangnya keinginan menguasai apa yg sebenarnya tak benar-benar menjadi hak milik. Setengah roti yg dibagi, akan menjadi setengah roti yg mensucikan jiwa. Dari kotornya hasrat keinginan, dari ilusi kepemilikan. Sang Sunan mengajarkan sembahyang dan zakat : menyerahkan diri pada yg memang memiliki.
Kita hidup dari apa yg kita peroleh. Tapi kita memperoleh kehidupan (kebahagiaan) dari apa yg kita beri - bagi._W.Churchill_
"Iku pati. Ngelmu pati sakderenge pati ingkang saestune," jawab sang Sunan. Sembahyang itu belajar mematikan diri - keinginan, sebelum kematian yg sebenarnya. Sebelum jasad hancur, dan hanya tersisa ruh yg lebih tersesat dibanding ketika masih berwujud manusia. Ruh yg tersesat, karena ia yg seharusnya kembali pada asal (Tuhan), masih terikat dengan dunia.
Kisah Habil dan Qobil mengawali tradisi zakat (membersihkan, mensucikan), sebelum munculnya kisah pengurbanan ala Ibrahim dan anaknya, Ismail. Seperti kata Rumi saat mendengar air yg berbicara pada kain yg kotor.
Air berkata, "Mari, sini, mendekatlah padaku,"
"Tidak. Aku malu dengan kekotoranku," kata kain.
"Bagaimana mungkin engkau dapat membersihkan rasa malu dan kotormu itu, tanpa aku? Mendekatlah, aku selalu menerimamu,"
Selalu saja, kebenaran tak perlu meminta izin pada telinga dan mata. Karena kebenaran mampu merasuk ke dalam hati, meski mata dan telinga tak menyadarinya.
"Sembahyang iku nora mung awan bengi, namung iku urip saestune," kata sang Sunan lagi. Sembahyang sebagai simbol penyerahan diri pada Sang Kebaikan. Inti dari ritual itu bukan pada gerakannya, tapi pada jiwa tiap pelakunya ketika ia mampu membawa nuansa sembahyang (sholat) pada kehidupan sehari-hari. Jika menggunakan bahasa Gandhi, membawa nuansa meditasi dalam tiap langkah dan hembusan nafas.
Aqimisholah wa i'taz zakat, dirikanlah sholat dan zakat. Ayat itu terus bergandengan. Setelah berjanji pada Diri Yg Maha Besar, pembuktiannya dilakukan dengan 'zakat' : berbagi. Yg menjadi simbol/tanda berkurang, atau bahkan hilangnya keinginan menguasai apa yg sebenarnya tak benar-benar menjadi hak milik. Setengah roti yg dibagi, akan menjadi setengah roti yg mensucikan jiwa. Dari kotornya hasrat keinginan, dari ilusi kepemilikan. Sang Sunan mengajarkan sembahyang dan zakat : menyerahkan diri pada yg memang memiliki.