26 Januari 2015 pukul 20.16
Tak mungkin bayangan mewujud, kecuali meminjam bagian dari wujud itu sendiri. Manusia menyebut keberadaan-Nya sebagai ketiadaan. Ia tak tersentuh pikiran, dan juga, hanya manusia yg telah sampai pada 'ketiadaan' akan bertemu dengan-Nya._Jon Q_
Ud'uniy astajib lakum. Kata Tuhan, berdoalah pada-Ku, maka pasti Ku kabulkan. Tapi, begitu banyak doa terpanjatkan pada-Nya, mengapa tak terkabulkan?
"Pada siapakah kau berdoa? Pada-Ku yg tak dapat terbayangkan, atau pada bayangan-Ku yg kau ciptakan sendiri?"
Maka seperti jawaban sang putra Lukman Al Hakim, "Aku menyembah Tuhannya Ibrahim, Tuhannya (yg disembah) Ismail, Tuhannya Ishak," begitu pula jawaban Yusuf dan saudara-saudaranya ketika sang ayah menjelang ajal.
Sebagai bayangan, manusia hidup sendiri. Sebagai bayangan, tak mungkin manusia menjadi 'nyata', menjadi wujud yg 'berada di depan cermin'. Jasad akan ditinggalkan, kembali menjadi tanah. Ruh akan terangkat, menjadi 'wujud yg nyata', jika telah disucikan. 'Diurapi', kristus, disucikan, kata Yesus : Isa alaihis salam.
"Berdoalah pada Tuhan yg berada dalam surga," katanya.
Surga, bukan milik muslim. Itu milik 'Din' (jalan) lain, seperti 'agama', 'pahala', 'dosa', 'neraka'. Apakah Islam adalah jalan (Din) hidup yg berdasar pada jalan lain? Lalu, pertanyaan 'adakah surga dan neraka itu'? Menjadi pertanyaan yg tak wajar dalam Islam.
'Surga' dalam injil dan Weda sebagai simbol, yg hanya dapat dimasuki oleh manusia-manusia tertentu. Di sana, tak ada perkataan yg percuma, segala sesuatu mudah, segala sesuatu indah.
Doa Ibrahim ketika terkabulkan menjadi Ishak, Zakaria ketika mendapat Yahya, Ayub ketika sembuh, adalah doa yg sampai 'ke sana' : surga. Doa yg terucap dari 'minal ibadilahil mukhlisin', hamba-hamba yg tersucikan. Doa yg keluar bukan dari mulut, dari jasad, tapi dari ruh, yg merupakan bagian-Nya. Hanya jiwa yg tenang - ayyatuhan nafsul muthma'inah, yg bersih (ikhlas), yg mampu memasukinya. Jiwa-jiwa yg tanpa keinginan, tanpa kebencian, tanpa dendam.
Tak mungkin bayangan mewujud, kecuali meminjam bagian dari wujud itu sendiri. Manusia menyebut keberadaan-Nya sebagai ketiadaan. Ia tak tersentuh pikiran, dan juga, hanya manusia yg telah sampai pada 'ketiadaan' akan bertemu dengan-Nya._Jon Q_
Ud'uniy astajib lakum. Kata Tuhan, berdoalah pada-Ku, maka pasti Ku kabulkan. Tapi, begitu banyak doa terpanjatkan pada-Nya, mengapa tak terkabulkan?
"Pada siapakah kau berdoa? Pada-Ku yg tak dapat terbayangkan, atau pada bayangan-Ku yg kau ciptakan sendiri?"
Maka seperti jawaban sang putra Lukman Al Hakim, "Aku menyembah Tuhannya Ibrahim, Tuhannya (yg disembah) Ismail, Tuhannya Ishak," begitu pula jawaban Yusuf dan saudara-saudaranya ketika sang ayah menjelang ajal.
Sebagai bayangan, manusia hidup sendiri. Sebagai bayangan, tak mungkin manusia menjadi 'nyata', menjadi wujud yg 'berada di depan cermin'. Jasad akan ditinggalkan, kembali menjadi tanah. Ruh akan terangkat, menjadi 'wujud yg nyata', jika telah disucikan. 'Diurapi', kristus, disucikan, kata Yesus : Isa alaihis salam.
"Berdoalah pada Tuhan yg berada dalam surga," katanya.
Surga, bukan milik muslim. Itu milik 'Din' (jalan) lain, seperti 'agama', 'pahala', 'dosa', 'neraka'. Apakah Islam adalah jalan (Din) hidup yg berdasar pada jalan lain? Lalu, pertanyaan 'adakah surga dan neraka itu'? Menjadi pertanyaan yg tak wajar dalam Islam.
'Surga' dalam injil dan Weda sebagai simbol, yg hanya dapat dimasuki oleh manusia-manusia tertentu. Di sana, tak ada perkataan yg percuma, segala sesuatu mudah, segala sesuatu indah.
Doa Ibrahim ketika terkabulkan menjadi Ishak, Zakaria ketika mendapat Yahya, Ayub ketika sembuh, adalah doa yg sampai 'ke sana' : surga. Doa yg terucap dari 'minal ibadilahil mukhlisin', hamba-hamba yg tersucikan. Doa yg keluar bukan dari mulut, dari jasad, tapi dari ruh, yg merupakan bagian-Nya. Hanya jiwa yg tenang - ayyatuhan nafsul muthma'inah, yg bersih (ikhlas), yg mampu memasukinya. Jiwa-jiwa yg tanpa keinginan, tanpa kebencian, tanpa dendam.