4 Februari 2015 pukul 14.48
Dengarkanlah lirik ini : if u ask me how i feel, i want to burn my lonely soul. Bukan tentang cinta terrendah, itu tentang seberapa kuat kita bertahan._Jon Q_
Pemahamanku kini menahan, ketika prasangka berkata : Semua ini dari Tuhan. Kita, kenyataannya tak pernah benar-benar tahu. Kita hanya mampu meyakini itu. Tapi jika itu keyakinan, iman, mengapa diperbincangkan? Jika itu iman, mengapa diumbar, apalagi disimbolkan?
Ilmu, yg menengahi iman di awal dan akhir. Karena ilmu terbatas, tak mampu menembus jawaban dari mana kita berasal, iman mendasari itu. Karena ilmu tak mampu mencapai ujung tertinggi, puncak kemutlakan, iman mengawal ke sana. Ilmu memang terbatas, iman berlari secepat cahaya, sedang ilmu berlari dengan kakinya yg lumpuh. Tapi, manusia terlalu lemah mengemban iman tanpa ilmu di pundaknya. Dan perjalanan mengais ilmu, itu terjadi perlahan, pelan-pelan, bahkan tak jarang membawa pada jalan yg menyimpang.
Perubahan terjadi pelan, karena dalam kepelan-pelanan itu, rasa berat terpikul. Bagaimana mungkin suatu keputusan terambil, jika keputusan itu - sekalipun baik, tapi membuat orang lain tertekan? Maka yg kita butuhkan adalah semacam 'seni penyembuhan luka'. Yg kita ubah (sentuh) pertama bukan jasad, melainkan jiwa, pikiran. Sedang pertanyaan untuk kita adalah, seberapa banyak orang yg telah kita lukai tanpa sadar bahwa kita melukainya (karena kesombongan menutupi hati kita)? Dan seberapa parah luka yg pernah kita buat itu? Bagaimana kita akan menyembuhkan dalam pelan, jika mengetahui luka itu pun tidak. Bagaimana kita tahu luka yg pernah kita buat itu begitu parah, sedang kita masih tak sadar tenggelam dalam kebodohan?
Dengarkanlah lirik ini : if u ask me how i feel, i want to burn my lonely soul. Bukan tentang cinta terrendah, itu tentang seberapa kuat kita bertahan._Jon Q_
Pemahamanku kini menahan, ketika prasangka berkata : Semua ini dari Tuhan. Kita, kenyataannya tak pernah benar-benar tahu. Kita hanya mampu meyakini itu. Tapi jika itu keyakinan, iman, mengapa diperbincangkan? Jika itu iman, mengapa diumbar, apalagi disimbolkan?
Ilmu, yg menengahi iman di awal dan akhir. Karena ilmu terbatas, tak mampu menembus jawaban dari mana kita berasal, iman mendasari itu. Karena ilmu tak mampu mencapai ujung tertinggi, puncak kemutlakan, iman mengawal ke sana. Ilmu memang terbatas, iman berlari secepat cahaya, sedang ilmu berlari dengan kakinya yg lumpuh. Tapi, manusia terlalu lemah mengemban iman tanpa ilmu di pundaknya. Dan perjalanan mengais ilmu, itu terjadi perlahan, pelan-pelan, bahkan tak jarang membawa pada jalan yg menyimpang.
Perubahan terjadi pelan, karena dalam kepelan-pelanan itu, rasa berat terpikul. Bagaimana mungkin suatu keputusan terambil, jika keputusan itu - sekalipun baik, tapi membuat orang lain tertekan? Maka yg kita butuhkan adalah semacam 'seni penyembuhan luka'. Yg kita ubah (sentuh) pertama bukan jasad, melainkan jiwa, pikiran. Sedang pertanyaan untuk kita adalah, seberapa banyak orang yg telah kita lukai tanpa sadar bahwa kita melukainya (karena kesombongan menutupi hati kita)? Dan seberapa parah luka yg pernah kita buat itu? Bagaimana kita akan menyembuhkan dalam pelan, jika mengetahui luka itu pun tidak. Bagaimana kita tahu luka yg pernah kita buat itu begitu parah, sedang kita masih tak sadar tenggelam dalam kebodohan?