12 Februari 2015 pukul 00.19
Untuk sebagian orang, hidup ini tentang keinginan. Kontradiksinya, selama kau tak memiliki keinginan, tapi kau hidup, akan banyak 'keinginan dari luar dirimu' yg datang. Dan sangat mungkin itu memberatkan. Kau harus pilih, hidup dengan keinginanmu, atau dengan keinginan 'sesuatu' di luar dirimu._Jon Q_
Belajar untuk tetap tenang di tengah sibuknya kehidupan, barangkali hanya bisa dilakukan orang gila. Di satu sisi ia 'hidup', mengerjakan tugas-tugasnya. Di sisi lain, ia tetap mampu merenung/berkhayal di waktu hidupnya. Manusia dengan jiwa bebas, seringkali (jika bukan selalu) mengagumkan. Ia bebas, bukan tentang keterlepasannya dari kesibukan dunia, tapi dari rasa takut di dalam jiwa. Manusia menjadi begitu buruk, ketika hidup bersama dengan rasa takut yg tak tunduk.
Pertempuran yg sesungguhnya mungkin disana, dalam pikiran. Manusia, sebelum bekerja dengan tindakan, pikirannya telah bekerja mendahului. Ia bertarung dengan rasa takut, dengan harga diri, 'label' diri, tak jarang mengukur kebahagiaan dari materi. Pertempuran yg lebih besar ketika manusia harus melawan keinginannya sendiri. Ia, manusia, harus memilih, pertama menundukan keinginannya yg mencemaskan jiwa. Kedua, dan dari ini kebesaran jiwa seseorang terukur, ia harus merelakan dirinya, selain hidup mengebiri keinginannya sendiri, juga menjadi semacam 'pelayan nafsu' Tuhan. Manusia tak akan pernah tahu, Tuhan punya keinginan/tidak. Seperti ketidaktahuannya bahwa manusia ternyata butuh pelarian, butuh pembelaan, bahwa yg salah bukan ia, tapi Tuhan, dengan memberikan beban kehidupan banyak orang padanya.
Mungkin itu mengapa manusia dijadikan wakil-Nya di bumi. Wakil - bahasa arab, pelindung, penjamin, kehidupan di bumi. Menjamin kehidupan bumi, manusia, sebagai seorang 'wakil' yg telah mampu 'mendengar' keinginan-Nya. Tapi, itu hanya untuk mereka yg menang ketika bertempur melawan dirinya sendiri. Bukan dengan kekerasan, ketika penaklukan hasrat dalam jiwa itu terjadi, tapi dengan cinta.
Untuk sebagian orang, hidup ini tentang keinginan. Kontradiksinya, selama kau tak memiliki keinginan, tapi kau hidup, akan banyak 'keinginan dari luar dirimu' yg datang. Dan sangat mungkin itu memberatkan. Kau harus pilih, hidup dengan keinginanmu, atau dengan keinginan 'sesuatu' di luar dirimu._Jon Q_
Belajar untuk tetap tenang di tengah sibuknya kehidupan, barangkali hanya bisa dilakukan orang gila. Di satu sisi ia 'hidup', mengerjakan tugas-tugasnya. Di sisi lain, ia tetap mampu merenung/berkhayal di waktu hidupnya. Manusia dengan jiwa bebas, seringkali (jika bukan selalu) mengagumkan. Ia bebas, bukan tentang keterlepasannya dari kesibukan dunia, tapi dari rasa takut di dalam jiwa. Manusia menjadi begitu buruk, ketika hidup bersama dengan rasa takut yg tak tunduk.
Pertempuran yg sesungguhnya mungkin disana, dalam pikiran. Manusia, sebelum bekerja dengan tindakan, pikirannya telah bekerja mendahului. Ia bertarung dengan rasa takut, dengan harga diri, 'label' diri, tak jarang mengukur kebahagiaan dari materi. Pertempuran yg lebih besar ketika manusia harus melawan keinginannya sendiri. Ia, manusia, harus memilih, pertama menundukan keinginannya yg mencemaskan jiwa. Kedua, dan dari ini kebesaran jiwa seseorang terukur, ia harus merelakan dirinya, selain hidup mengebiri keinginannya sendiri, juga menjadi semacam 'pelayan nafsu' Tuhan. Manusia tak akan pernah tahu, Tuhan punya keinginan/tidak. Seperti ketidaktahuannya bahwa manusia ternyata butuh pelarian, butuh pembelaan, bahwa yg salah bukan ia, tapi Tuhan, dengan memberikan beban kehidupan banyak orang padanya.
Mungkin itu mengapa manusia dijadikan wakil-Nya di bumi. Wakil - bahasa arab, pelindung, penjamin, kehidupan di bumi. Menjamin kehidupan bumi, manusia, sebagai seorang 'wakil' yg telah mampu 'mendengar' keinginan-Nya. Tapi, itu hanya untuk mereka yg menang ketika bertempur melawan dirinya sendiri. Bukan dengan kekerasan, ketika penaklukan hasrat dalam jiwa itu terjadi, tapi dengan cinta.