3 Februari 2015 pukul 19.29
Jika jiwa, diri manusia yg sebenarnya, adalah nafsu, bagaimana memisahkan diri dari diri itu sendiri?_Jon_
Seekor ulat menggeliat. Tubuhnya seperti kesurupan setan, terbalik-balik, seperti kesakitan. Tubuh bagian atas menempel pada ranting, dan ternyata, ia tengah berproses menjadi kepompong. Ia bersembunyi di dalam kulitnya yg mengeras, menjadi 'sesuatu yg lain'. Entah apa yg dilakukannya di dalam kepompong, yg pasti, ketika waktunya tiba, ia meninggalkan kulitnya sendiri, menjadi 'sesuatu yg lebih indah' : kupu-kupu. Tapi, mengapa seekor ulat harus menjadi kupu-kupu? Apakah ia, ulat, berpikir bahwa dulu ia telah menjadi sesuatu yg merusak, kemudian ia belajar memperbaiki diri agar menjadi sesuatu yg memperbaiki?
Seekor ikan mas jatuh ke dalam lumpur. Ia bertahan hidup dalam ketertekanan. Tak seperti lele yg memiliki labirin - organ pembantu pernafasan dalam lumpur, ikan mas kerepotan hidup disana meski hanya untuk bernafas.
Bagaimana seekor ikan mas bisa hidup di habitat ikan lele? Apakah ia harus mengubah diri, menggeliat-geliat seperti ulat, lalu menjadi lele?
Pada siapa ia yg hidup bukan pada tempatnya, akan mengeluh? Siapa yg menentukan tempat hidup sesuatu? Jika manusia sendiri yg menentukan dimana ia akan tinggal, mengapa mengeluh? Dari mana keluhan berasal? Dari jiwa ataukah nafsu (nafs, diri, jiwa)? Apa bedanya?
Tak seperti ulat yg berani sabar menanti waktu dan visioner - ia tahu salah satu takdir yg pasti akan dialami, manusia ternyata lebih lemah dan rabun. Tak seperti ikan mas yg tak banyak bicara dengan hidup yg penuh luka, manusia berusaha memberontak diri sendiri dengan menyalahkan orang lain, mempersangkai orang lain-lah yg membuat kesalahan itu terjadi.
Jika jiwa, diri manusia yg sebenarnya, adalah nafsu, bagaimana memisahkan diri dari diri itu sendiri?_Jon_
Seekor ulat menggeliat. Tubuhnya seperti kesurupan setan, terbalik-balik, seperti kesakitan. Tubuh bagian atas menempel pada ranting, dan ternyata, ia tengah berproses menjadi kepompong. Ia bersembunyi di dalam kulitnya yg mengeras, menjadi 'sesuatu yg lain'. Entah apa yg dilakukannya di dalam kepompong, yg pasti, ketika waktunya tiba, ia meninggalkan kulitnya sendiri, menjadi 'sesuatu yg lebih indah' : kupu-kupu. Tapi, mengapa seekor ulat harus menjadi kupu-kupu? Apakah ia, ulat, berpikir bahwa dulu ia telah menjadi sesuatu yg merusak, kemudian ia belajar memperbaiki diri agar menjadi sesuatu yg memperbaiki?
Seekor ikan mas jatuh ke dalam lumpur. Ia bertahan hidup dalam ketertekanan. Tak seperti lele yg memiliki labirin - organ pembantu pernafasan dalam lumpur, ikan mas kerepotan hidup disana meski hanya untuk bernafas.
Bagaimana seekor ikan mas bisa hidup di habitat ikan lele? Apakah ia harus mengubah diri, menggeliat-geliat seperti ulat, lalu menjadi lele?
Pada siapa ia yg hidup bukan pada tempatnya, akan mengeluh? Siapa yg menentukan tempat hidup sesuatu? Jika manusia sendiri yg menentukan dimana ia akan tinggal, mengapa mengeluh? Dari mana keluhan berasal? Dari jiwa ataukah nafsu (nafs, diri, jiwa)? Apa bedanya?
Tak seperti ulat yg berani sabar menanti waktu dan visioner - ia tahu salah satu takdir yg pasti akan dialami, manusia ternyata lebih lemah dan rabun. Tak seperti ikan mas yg tak banyak bicara dengan hidup yg penuh luka, manusia berusaha memberontak diri sendiri dengan menyalahkan orang lain, mempersangkai orang lain-lah yg membuat kesalahan itu terjadi.