Hujan pagi

Java Tivi
0
13 Januari 2015 pukul 08.54

Disiplin itu nomor dua, yang pertama adalah bahagia. Maka saat kau bekerja, sekolah, atau hidup dalam kenyataan  - bukan dalam mimpi - kau harus bahagia lebih dulu. Jika sudah bahagia, apa saja dapat kau lakukan dengan senang hati, bahkan sekalipun misalnya tanpa imbalan._Jon Q_

Semalaman si Jon berjibaku dengan urusan administrasi sekolahnya. Tugas-tugasnya bagai istri yang - bahkan senang - dipoligami. Tugas satu belum selesai, datang tugas lain yang sudah menunggu di depan pintu. Bayangkan jika itu istri yang mengantri, wuih, si Jon bakal tambah kerempeng.

Pagi ini hujan. Ia sedang di kantornya, menyelesaikan tugas-tugas yang entah kapan selesai, meski nyaris tak henti bekerja. 

*Ah, hujan. Tambah segar ini,* kata Jon. *Benar, sesekali hujan harus turun pagi. Agar aku bisa mengecek kelas sekolah ini, adakah yang bocor, adakah ketidaknyamanan yang dirasakan guru atau siswa,* gumamnya lagi. Dari hujan pagi ini, muncul ide untuk membeli payung dan Walky Talky. Payung, agar dia bisa ke gedung depan yang berjarak 50-100 meter dari gedung belakang, mengecek guru/siswa, apakah mereka tetap nyaman belajar. Walky Talky, agar tak perlu bolak-balik kalau misalnya ada yang mendaftar pekerjaan, atau meminta tolong diambilkan berkas/konsumsi.

Pagi ini ada kabar baru, tentang guru dan kepala sekolah yang harus menggunakan Finger Print (presensi otomatis). Para guru sekolah Jon, guru swasta, kalau disiplin diutamakan, akan menambah beban berkali-kali lipat. Berangkat-pulang seperti PNS, beban kerja sama, gaji sekarat.
*Tentu, dalam kondisi seperti ini saya belum setuju itu kita lakukan,* kata Jon pada para gurunya. *Alat ini meremehkan kinerja kita,* mungkin wajar Jon berkata begitu, karena tanpa alat itupun, berkat pembinaan intens oleh Jon ditiap hari Sabtu, mereka menjadi orang-orang yang siap tempur. 

Jon orang yang praktis, tapi berpikir mengakar (revolusioner). Dia pernah berkata, bahwa kedisplinan itu nomor dua, yang nomor satu adalah kebahagiaan. Bukan karena kita disiplin kemudian kita menjadi bahagia, tapi karena kita bahagia kita mampu selalu disiplin. Guru atau siswa pun sama, seharusnya kebahagiaan yang diutamakan. Apakah mereka bahagia, senang, belajar di sekolah marginal seperti itu? Apakah para guru bahagia dengan honor yang menyedihkan? Apakah guru dan siswa bahagia dengan kepala sekolah seperti Jon?

*Istirahat dulu ah,* ucap Jon setelah menyelesaikan tiga SPJ (Surat PertanggungJawaban). *Udud dulu,* katanya sembari memandangi hujan pagi yang menyegarkan.

Hanya di tempat sepi atau perjalanan seperti itulah ia berteman dengan sebatang tembakau. Dulu, sesepuh si Jon di zaman Mataram Islam, pernah sakit pernafasan yang cukup lama. Ia seorang tabib keraton. Setelah bersemedi cukup lama, dia mendapat wangsit untuk mengumpulkan akar-akaran rempah, termasuk tembakau. Darisana-lah rokok berasal, lintingan tembakau dan akar yang digunakan untuk pengobatan pernafasan. Tak heran ada beberapa rokok yang bisa digunakan untuk meringankan sakit flu dan pernafasan. Hanya saja, kalau masuk ke persoalan bisnis, semua ingin dapat banyak. Maka ditambah-lah dalam rokok itu candu, dan beberapa zat kimia lainnya. 

Waktu masih kuliah, Jon pernah mendoktrin adik-adiknya yang merokok dengan prinsip 5 U :
1. Udud kalau tak ada anak kecil
2. Udud kalau tak ada wanita atau orangtua (kecuali mereka juga merokok)
3. Udud cuma kalau diizinkan orang di dekatnya
4. Udud kalau sudah kerja
5. Udud berhenti kalau belinya dapat dari hutang

Sampai sekarang dia masih pakai prinsip itu. Tak heran, dia pernah nyaris dipukul bapak-bapak di sebuah bus ekonomi karena mengingatkannya agar tak merokok. Disana ada anak kecil, ibu-ibu, yang merasa terganggu. Bak pahlawan kasian, si Jon berani mengingatkan bapak-bapak gede itu.

Sering Jon merenung, pantas saja para pendidik Indonesia wawasannya cetek, bagaimana mau berpikir atau merenung, aktifitasnya dihabiskan untuk administrasi dan kelengkapan tugas kenaikan gaji. Pertanyaan saat menemui calon mertua pun sekarang bukan tentang moral dan kerja keras, tapi tentang sertifikasi dan PNS yang sudah atau belum diterima.

Hujan pagi itu mengingatkan Jon saat main ke salah satu rekan kepala sekolah lain, *Pak Jon kapan menikah? Jangan kayak saya yang menikah umur 33 tahun. Jangan nunggu jadi PNS atau sertifikasi. Kasian kan kalau kita sudah tua tapi anak-anak kita masih kecil-kecil,*

Satire.

*Usia Bapak berapa sih?* tanyanya lagi.

Jon melongo melihat hujan di halaman sekolahnya.

*26 jalan, Pak. Hehe, belum dapat mandat ini dari ibu,* dia beralibi, sebelum rekannya itu seperti pejabat lain, mencalonkannya dengan Mba fulan atau fulanah anak Pak Fulan atau Pak Haji Fulanah. Repot benar jadi orangtua.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)