6 Februari 2015 pukul 19.42
Kisah seorang gila yg berbincang dengan hujan di sore hari. Ia berteduh di satu rumah Tuhan. Tak tahu apa yg ingin hujan sampaikan lagi lewat deras dan kilat yg berlarian.
"Apa yg ingin kau sampaikan kali ini, hujan?" katanya.
Tapi kepalanya tak mampu berpikir, entah mengapa. Ia melihat orang-orang yg tetap jalan di bawah hujan.
Mengapa mereka tak berteduh dulu?
Kabut yg menutupi pandangan bisa saja membahayakan. Kabut yg menutupi jalan mengacaukan arah tujuan. Karena itukah ia bertahan tak melawan?
"Apa kau menantangku untuk menunggu?" katanya lagi. Ia tertawa kecil, "Akan aku buktikan, kau akan lelah sendiri mengujiku. Kau akan marah sendiri karena aku manusia yg menikmati waktu,"
Ia bernyanyi
Bermain
Berkhayal
Berdialog tentang masa depan di dalam pikiran
Menunggu?
"Satu tahun, dua, tiga tahun, sampai kapan kau akan turun?" katanya. "Aku sanggup menunggunya, selama apapun. Yg aku takutkan bukan dia, tapi aku sendiri. Ketika mereka, orang-orang yg melihatku sendiri, mulai mendekati satu per satu. Jika itu terjadi, mungkin kau akan tahu, tentang seseorang yg lebih baik dariku. Seseorang akan paham bernilainya sesuatu, ketika ia telah kehilangannya,"
"Mengapa kau memikirkan dunia sana? Bukankah tubuhmu disini?" katanya lagi. "Kau seperti seorang kekasih yg memikirkan orang lain. Tubuhmu di depan kekasihmu, tapi tidak dengan jiwa, rasa. Itu tanda kau mati. Ketika jiwa tak bersatu dengan tubuhmu. Berapa kali kau sering begitu?"
Dan akhirnya hujan pun menyerah. Tak ada yg mampu mengalahkan orang yg kuat bertahan tanpa beban. Apalagi yg orang gila pikirkan? Melihat hujan yg mengejek ia tertawakan bak pipis anak kecil yg berurutan. Mendengar cetar petir ia tersenyum seperti mendengar nyanyian yg berlebihan. Orang gila tak pernah merasa kuat, seperti hujan yg keras kepala ingin turun lebat.
"Itu siklus," katanya. "Aku orang lemah yg belajar kuat, tapi tak ingin jadi kuat. Karena ia yg menjadi kuat, tinggal menunggu saat lemahnya datang. Kelemahan yg tak dapat menguat lagi,"
Kisah seorang gila yg berbincang dengan hujan di sore hari. Ia berteduh di satu rumah Tuhan. Tak tahu apa yg ingin hujan sampaikan lagi lewat deras dan kilat yg berlarian.
"Apa yg ingin kau sampaikan kali ini, hujan?" katanya.
Tapi kepalanya tak mampu berpikir, entah mengapa. Ia melihat orang-orang yg tetap jalan di bawah hujan.
Mengapa mereka tak berteduh dulu?
Kabut yg menutupi pandangan bisa saja membahayakan. Kabut yg menutupi jalan mengacaukan arah tujuan. Karena itukah ia bertahan tak melawan?
"Apa kau menantangku untuk menunggu?" katanya lagi. Ia tertawa kecil, "Akan aku buktikan, kau akan lelah sendiri mengujiku. Kau akan marah sendiri karena aku manusia yg menikmati waktu,"
Ia bernyanyi
Bermain
Berkhayal
Berdialog tentang masa depan di dalam pikiran
Menunggu?
"Satu tahun, dua, tiga tahun, sampai kapan kau akan turun?" katanya. "Aku sanggup menunggunya, selama apapun. Yg aku takutkan bukan dia, tapi aku sendiri. Ketika mereka, orang-orang yg melihatku sendiri, mulai mendekati satu per satu. Jika itu terjadi, mungkin kau akan tahu, tentang seseorang yg lebih baik dariku. Seseorang akan paham bernilainya sesuatu, ketika ia telah kehilangannya,"
"Mengapa kau memikirkan dunia sana? Bukankah tubuhmu disini?" katanya lagi. "Kau seperti seorang kekasih yg memikirkan orang lain. Tubuhmu di depan kekasihmu, tapi tidak dengan jiwa, rasa. Itu tanda kau mati. Ketika jiwa tak bersatu dengan tubuhmu. Berapa kali kau sering begitu?"
Dan akhirnya hujan pun menyerah. Tak ada yg mampu mengalahkan orang yg kuat bertahan tanpa beban. Apalagi yg orang gila pikirkan? Melihat hujan yg mengejek ia tertawakan bak pipis anak kecil yg berurutan. Mendengar cetar petir ia tersenyum seperti mendengar nyanyian yg berlebihan. Orang gila tak pernah merasa kuat, seperti hujan yg keras kepala ingin turun lebat.
"Itu siklus," katanya. "Aku orang lemah yg belajar kuat, tapi tak ingin jadi kuat. Karena ia yg menjadi kuat, tinggal menunggu saat lemahnya datang. Kelemahan yg tak dapat menguat lagi,"