Untukmu,

Java Tivi
0
21 Januari 2015 pukul 22.40

Kita harus berani mengambil resiko untuk bahagia. Jika kau menginginkan sekuntum mawar, kau harus membersihkan durinya.

Mata ini sebenarnya sudah cukup mengantuk. Kemarin ada yang komentar, kisah si Jon itu membosankan. Persoalannya bukan bosan atau tidak, temanku. Jika ku ceritakan kisah manusia di balik si Jon, meski ia hanyalah pemuda kampungan, kau akan semakin tak percaya. Tapi baiklah, kali ini aku tak mengajaknya – Jon. Ini cerita tentang teman Jon, salah satu sahabat perempuannya.

"Untuk sekedar kenalan aku siap, tapi kalau harus ke arah berumah tangga, aku mungkin akan mundur teratur, " kata teman pria sahabat Jon itu.

Rasanya ingin ku pukul (kalau ada) lelaki macam itu. Sudah cukup umur, bekerja, matang, tapi Cuma berani kenalan tanpa membuat komitmen. Mungkin wajar kalau si pria baru berkenalan dengan wanita itu, tapi ini sudah cukup lama, tahunan. Cerita dia sampai pada asumsi, bahwa si pria ingin PDKT lebih lama – pacaran, dan jika suatu saat ternyata tak cocok, dia bisa meninggalkannya begitu saja. Kampret.

Paling tidak, ada dua kemungkinan ketika sepasang manusia muda berkomunikasi intim tanpa komitmen. Pertama, akan muncul harapan, yang lebih sering harapan itu menguap. Kedua, semakin lama kau berhubungan dengan seseorang yang kau suka, akan semakin kecil kemungkinan orang lain bisa masuk ke sana – perasaanmu. Kau akan terjebak, di satu sisi kau tak bisa memaksanya menjadi milikmu, di sisi lain kau tak mampu membuka hati untuk orang lain. Para playboy yang belajar sejarah, terutama dari Cassanova, pasti paham ini. Berikan harapan pada wanita – bagaimanapun caranya sekalipun dengan janji komitmen, tapi jangan sampai menikahinya.

Laki-laki setengah impoten, kalau pakai bahasaku. Kontradiksinya adalah, sebagian besar wanita tak mau dicerdaskan. Sebagian besar wanita tak mau menjadi mulia, atau terhormat. Mengapa? Karena mereka lebih senang dengan merendahkan dirinya, dengan cara memberikan dirinya pada orang yang tak berani mengikat komitmen, mendatangi orangtuanya. Fitrahnya, ketika seorang perempuan telah membuka hati pada lelaki yang menyukainya, lelaki itu tak boleh menolak ketika ditanya tentang komitmen. Mengapa? Karena belum tentu ada perempuan lain yang membuka hati seperti dia. Jika suka, mengapa tak mau janji dan mengenalkan diri pada keluarganya? Jika tak mau janji, untuk apa berkenalan lebih dalam? Sebaliknya, sebuah kebodohan – dari pengalaman – ketika seorang pria mengejar-ngejar perempuan. Dari SMA aku belajar tentang ini. Ada seorang teman yang dimarahi oleh guru mengaji kami, karena dia mau menghabiskan seluruh hartanya demi seorang wanita. Mengapa mengejar ia yang bahkan diberikan 500 juta tak mau, sedangkan menolak banyak perempuan yang cukup menerima ia sebagai santri yang taat? Aku tak senang dengan konsep ta-aruf. Konsep itu untuk orang-orang penakut. Jika pun taaruf, apa intinya jika bukan sebuah komitmen? Buat ikatan jelas lebih dulu, baru taaruf. Bukan malah sebaliknya, taaruf dulu (yang sebenarnya adalah pacaran), lalu komitmennya lihat nanti saja. Bahkan seorang pelacur pun berani pasang tarif dulu sebelum dibeli. Sedangkan di luar sana, begitu banyak wanita yang merasa terhormat dengan perasaan saling cinta tanpa keberanian pria menyatakan janji setia – pernikahan.

Lalu, seperti yang Jon ajarkan padaku tentang cara doa malaikat, aku pun mengajarkannya.

Tenangkan dirimu. Rasakan kedamaian paling dalam dari dalam diri. Dalam kedamaian itu, tak ada rasa takut, kesedihan, keraguan, kecemasan, keinginan. Engkau benar-benar damai. Kedamaian yang bahkan kau tak sadar bahwa yang bicara di dalam dirimu itu adalah engkau sendiri. Berdoalah. Apapun, dengan bahasa atau kata-kata apapun. Ketika kau telah sampai pada kondisi ini, tak ada doa yang tak terjawab.

Saat kau berada dalam kondisi itu, hijab takdir akan disingkapkan. Tapi, bukan malah kau senang, kau akan tertawa dan menganggap bahwa kerja keras adalah kehidupan itu sendiri. Bahwa doa yang seperti itu memang menyenangkan, tapi bukan yang menjadikan kita benar-benar hidup.
Seperti yang pernah aku dan Jon ceritakan, takdir kita dalam tema jodoh seperti serabut otak. Cabang yang merupakan kemungkinan kita akan tertakdir dengan siapa, sama banyaknya dengan bintang-bintang di langit. Jangan takut karena tak punya uang, belum siap mental, lahir-batin, lalu menolak seseorang yang sebenarnya kau sukai. Tuhan tak bermain dadu di atas sana. Jangan mengira bahwa kau yang belum siap mental dan lain-lain itu, lalu hidupmu akan berantakan. Kalaupun Tuhan bisa berpikir, Ia tak mungkin berpikir sebodoh itu (jangan ambil resiko kalau tak siap, karena Aku akan meninggalkanmu sendirian!).

Sahabat kami itu juga bertanya padaku, kapan menikah. Aku jawab, mungkin awal 2016. Bukan belum siap atau alasan sepele lainnya. Ini tentang izin ibuku. Beliau belum mengizinkan, bahkan dengan seorang wanita yang tak terlalu jauh dari rumahnya.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)