Mainan saat kecil

Java Tivi
0
Setelah menyimak, menonton, video aksi mahasiswa kemarin, Jon melenguh putus asa. Di kepalanya berjejal rasa takut bukan di saat itu, melainkan setelahnya. Dan di antara mereka, ada anak-anak didiknya sendiri. Dia pun bercerita sambil ngopi denganku malam lalu.

"Aku punya saudara yang waktu kecil, saat bermain senang membiarkan mainannya berantakan," Jon mengawali cerita. Suaranya meyakinkan kalau dia memang semakin tua, tak bergejolak lagi di dadanya melihat penindasan di negeri ini. Mungkin. Seperti Oogway, si kura-kura tua yang sebentar lagi mokhsa. "Selisih umurku dengannya 6 tahun. Jadi saat aku 4 tahun, dia berumur 10 tahun. Banyak kesempatan ketika dia bermain, di halaman rumah atau di tempat teman tetangga, dia yang bermain, aku yang merapikan, ditinggal dia main mainan selanjutnya bersama teman-temannya. Dia saudaraku, dan karena memang aku terlahir ABK (anak berkebutuhan khusus/lemah otak), aku mau saja, tidak ada beban sama sekali,"

Dunia ini memang tempatnya bermain, la'ib wa lahwu. Tapi kita harus paham konsekuensi dari mainan itu. Kita harus punya ilmu (pengetahuan) untuk memainkannya, sabar menjalaninya, menerima kekalahan atau tak sombong ketika memenangkannya. Kau tahu apa konsekuensi yang manusia paling tak mau menanggung setelah permainan kalah bahkan sebelum usai?

Kalian harus tahu konsekuensi perjuangan, temanku. Kalian ingat saat SMA/SMK dulu bagaimana kalian belajar sejarah? Kalian tak sungguh-sungguh. Salahkan guru sejarahnya? Kenapa kalian menggantungkan kecerdasan diri kalian pada seorang guru (sejarah)? Jika belajar sejarah saja kau tak sungguh-sungguh, lalu sedikit persoalan negeri kau tiba-tiba bersamangat menggebu untuk tampil? Cara pikirmu ini bagaimana?

Kau tahu, mengapa Jepang berkuasa di teknologi otomotif, lalu cina menyerang dari sisi perdagangan (yang nantinya ke politik) di negeri ini? Kalian tahu, sumbangan-sumbangan dari belanda dan inggris yang sebenarnya adalah diplomasi jerat penjajahan gaya baru? Sebatas proyek cina-jepang untuk teknologi kereta cepat saja mungkin kau belum tahu sekedar informasinya saja. Lalu setelah aksi itu, kau pulang, belajar (menghafal) lagi, tidur nyenyak, makan enak, weekend liburan seakan perjuangan kemarin selesai dan kemenangan rakyat?

"Kau harus paham, temanku," suara Jon masih putus asa. "Yang paling berat bukanlah saat atau persiapan peperangan. Melainkan membersihkan, dan menjaga kedamaian setelah peperangan itu. Perang badar yang besar itu, pergerakan '45 itu, lebih berat lagi adalah membersihkan sisa-sisa peperangan yang sangat mungkin seumur hidup. Apa kau lupa sejarah perang bubat? Sejarawan Sunda berkata itu ada, sejarawan Jawa bilang itu tidak ada. Kau akan membersihkannya dengan cara apa? Lalu tiba-tiba tanpa latihan mental-intelektual kalian maju, sehari, dua hari, seminggu, lalu pulang seakan sudah menang?"

Ia menarik nafas panjang, seakan di depannya ada banyak orang yang mendengarkan, "Kau tahu apa yang paling aku takutkan?" Jon bertanya retoris. "Kalian aksi, mengatasnamakan rakyat, bergejolak rasa semangat di dada, lalu waktu berputar membawamu di posisi mereka yang sedang duduk disana. Kau harus tahu, mereka yang duduk disana adalah para pejuang rakyat saat seusia-mu. Sekarang? Tuhan pun sakit hati melihat mereka,"

Jumat, 26 September 2019




Kalian kenal mereka? Jadi kita paham, mengapa si Jon, tokoh kita itu, merasa putus asa.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)