Jika 1+1= 2 itu benar, maka dalam khazanah ilahiyah 1+1 tidak harus = (sama dengan) 2 juga benar. Itu mengapa yang dipakai adalah = (SAMA dan DENGAN). Seperti misalnya, sepiring nasi menghasilkan 100 kalori = 5 roti kukus (misalnya). Tidak hanya 50 kalori + 50 kalori, tetapi juga meliputi persamaan dari itu. Maka ketika Musa berkata pada Khidir, bahwa merusak perahu itu = menenggelamkan, dalam khazanah ketuhanan itu tak sesuai. Karena dalam pemahaman para wali, innahu alaa kulli syai'in qodiir. Allah bisa begitu, Allah juga mampu begini, yang tak harus sesuai apa yang manusia pikirkan. Maka 1+1=4-2=2+0=4:2=~ (tak terhingga), itulah permisalan khazanah ketuhanan. Allah mampu, kita tak mampu.
Maka sangat tidak sesuai bagi sebagian orang pemahaman-pemahaman umum yang diyakini masyarakat. Bahwa jadi pedagang kaki lima atau tukang becak itu tak mungkin kaya, jadi guru honorer itu miskin permanen, orang bodoh itu akan selalu terbelakang, dan sebagainya. Karena nyatanya ada yang lebih tinggi daripada khazanah ketuhanan di atas. Seperti kisah Khidir dan Musa.
Wa 'alamnahu min ladunna ilma. Yang lebih tinggi dari itu adalah pancapaian ketika seseorang telah tiba pada satu titik tertinggi, kemudian dia menyerahkan semua pencapaian beserta jiwa dan raganya. Musa ibarat seorang ilmuwan/filsuf terhebat. Ketika ditanya kaumnya, "Adakah seseorang yang lebih cerdas darimu?" maka Musa pun berkata, tidak. Kemudian Tuhan mewahyukan bahwa ada seseorang yang lebih berilmu darinya, yang ternyata adalah kebalikannya. Bahwa orang-orang yang berilmu justru adalah orang-orang yang merasa 'tak memiliki' ilmu. Bahwa dia diajarkan ilmu dari sisi Tuhan, kapanpun Tuhan menghendaki ia menyampaikannya pada orang lain. Bukan orang-orang yang 'kosong', melainkan fa basyir anni mujawiro bayti, kabar gembira bagi mereka yang beriktikaf di rumah-Ku (setiap saat dalam hidupnya). Bi amaanin ma indahu takhwifu, berupa keamanan yang tak akan tersentuh oleh ancaman apapun. Orang sekarang mengatakan itu ilmu laduni, didapat dengan semedi, puasa, dan sebagainya. Jika belajar tajwid saja belum, kemudian berambisi belajar tasawuf, maka membedakan fathah dan dhomah saja tak bisa. Naar, api, itu pakai fathah. Nuur, cahaya, itu dengan dhomah. Kita tak pernah tahu (jika belajarnya belum sampai), yang membisiki kita itu naar/setan, atau nuur/malaikat penjaga kita. Kesesatan memang tak terasa sesakit patah hati. Apalagi untuk mereka yang fakir cinta.
Maka sangat tidak sesuai bagi sebagian orang pemahaman-pemahaman umum yang diyakini masyarakat. Bahwa jadi pedagang kaki lima atau tukang becak itu tak mungkin kaya, jadi guru honorer itu miskin permanen, orang bodoh itu akan selalu terbelakang, dan sebagainya. Karena nyatanya ada yang lebih tinggi daripada khazanah ketuhanan di atas. Seperti kisah Khidir dan Musa.
Wa 'alamnahu min ladunna ilma. Yang lebih tinggi dari itu adalah pancapaian ketika seseorang telah tiba pada satu titik tertinggi, kemudian dia menyerahkan semua pencapaian beserta jiwa dan raganya. Musa ibarat seorang ilmuwan/filsuf terhebat. Ketika ditanya kaumnya, "Adakah seseorang yang lebih cerdas darimu?" maka Musa pun berkata, tidak. Kemudian Tuhan mewahyukan bahwa ada seseorang yang lebih berilmu darinya, yang ternyata adalah kebalikannya. Bahwa orang-orang yang berilmu justru adalah orang-orang yang merasa 'tak memiliki' ilmu. Bahwa dia diajarkan ilmu dari sisi Tuhan, kapanpun Tuhan menghendaki ia menyampaikannya pada orang lain. Bukan orang-orang yang 'kosong', melainkan fa basyir anni mujawiro bayti, kabar gembira bagi mereka yang beriktikaf di rumah-Ku (setiap saat dalam hidupnya). Bi amaanin ma indahu takhwifu, berupa keamanan yang tak akan tersentuh oleh ancaman apapun. Orang sekarang mengatakan itu ilmu laduni, didapat dengan semedi, puasa, dan sebagainya. Jika belajar tajwid saja belum, kemudian berambisi belajar tasawuf, maka membedakan fathah dan dhomah saja tak bisa. Naar, api, itu pakai fathah. Nuur, cahaya, itu dengan dhomah. Kita tak pernah tahu (jika belajarnya belum sampai), yang membisiki kita itu naar/setan, atau nuur/malaikat penjaga kita. Kesesatan memang tak terasa sesakit patah hati. Apalagi untuk mereka yang fakir cinta.