Jika pun dunia ini adalah permainan, maka tak satupun permainan yang kau ahli memainkannya, dan tak ada candaan yang membuatmu bergembira ketika orang-orang di dekatmu tertawa. Kau asing. Keasinganmu belum tentu yang dimaksud sang nabi bada-al islamu ghoriiba, wa saya'udu kama bada-a ghoriiba, fa thuuba lil ghurooba. Karena, bahkan para alim di sekitarmu menganggap keislamanmu lemah, aneh, dan sangat mungkin zindik : sesat.
Satu per satu kenikmatanmu di tengah-tengah masyarakatpun mulai kau rasakan semakin hilang. Dunia ini rasanya hambar, membosankan, bukan karena terlalu sering kau memenangkannya. Melainkan tak satupun permainan yang kau ahli memerankannya. Jangan kau tuduh orang lain yang bermain curang justru ketika kau hampir sampai kemenangan. Seperti tahkim Ali ra ketika bertempur dengan Muawiyyah. Juga jangan kau pikir orang-orang tak mengikuti aturan hanya karena kau lemah, tak mampu melihat orang lain merasa dikalahkan, atau dijatuhkan. Permainan yang kau harus kalah, karena sekalipun kau kalah jiwamu tak merasa terjatuh, seperti pada umumnya orang-orang ketika mereka merasa dikalahkan. Permainan yang kau tak boleh menang, membiarkan dirimu babak belur, tercabik-cabik, dengan ribuan bekas luka dipunggungmu, namun kau tak pernah jatuh.
Kau masih ingat kisah seorang pemuda yang menabung air di dalam goa? Resiko perjuangan itu menyakitkan. Bukan karena perjuangan yang melelahkan, melainkan friksi (dialektika), sebab-akibat yang justru seringkali tak cukup hanya mengandalkan akal saja. Seperti Arjuna dengan saudara Pandawanya yang melawan saudara mereka di lain ibu : Kurawa. Seperti Habil-Qobil, Ibrahim dengan ayah dan kaumnya, Musa dengan ayah tiri dan sepupunya : Qorun. Atau sang nabi dengan paman-pamannya sendiri.
Innamal hayyatid dunya la'ib wa lahwu, jika pun dunia ini permainan, tak satupun permainan yang kau boleh hanyut di dalamnya. Karena sebenarnya engkau hanya bergerak dalam jalan-Nya, nampak bermain di tengah dunia, namun beribadah dari sudut pandang-Nya. Dan di hadapan-Nya, beranikah kau cenge-ngesan pada-Nya?
Satu per satu kenikmatanmu di tengah-tengah masyarakatpun mulai kau rasakan semakin hilang. Dunia ini rasanya hambar, membosankan, bukan karena terlalu sering kau memenangkannya. Melainkan tak satupun permainan yang kau ahli memerankannya. Jangan kau tuduh orang lain yang bermain curang justru ketika kau hampir sampai kemenangan. Seperti tahkim Ali ra ketika bertempur dengan Muawiyyah. Juga jangan kau pikir orang-orang tak mengikuti aturan hanya karena kau lemah, tak mampu melihat orang lain merasa dikalahkan, atau dijatuhkan. Permainan yang kau harus kalah, karena sekalipun kau kalah jiwamu tak merasa terjatuh, seperti pada umumnya orang-orang ketika mereka merasa dikalahkan. Permainan yang kau tak boleh menang, membiarkan dirimu babak belur, tercabik-cabik, dengan ribuan bekas luka dipunggungmu, namun kau tak pernah jatuh.
Kau masih ingat kisah seorang pemuda yang menabung air di dalam goa? Resiko perjuangan itu menyakitkan. Bukan karena perjuangan yang melelahkan, melainkan friksi (dialektika), sebab-akibat yang justru seringkali tak cukup hanya mengandalkan akal saja. Seperti Arjuna dengan saudara Pandawanya yang melawan saudara mereka di lain ibu : Kurawa. Seperti Habil-Qobil, Ibrahim dengan ayah dan kaumnya, Musa dengan ayah tiri dan sepupunya : Qorun. Atau sang nabi dengan paman-pamannya sendiri.
Innamal hayyatid dunya la'ib wa lahwu, jika pun dunia ini permainan, tak satupun permainan yang kau boleh hanyut di dalamnya. Karena sebenarnya engkau hanya bergerak dalam jalan-Nya, nampak bermain di tengah dunia, namun beribadah dari sudut pandang-Nya. Dan di hadapan-Nya, beranikah kau cenge-ngesan pada-Nya?