Ibrahim muda datang dengan hati yang terluka melihat ayah dan kaumnya yang hidup bahagia dalam kebodohannya. Ma dza ta'budun? Kata Ibrahim pada ayah dan kaumnya. Apakah luka hati seperti ini juga termasuk sakit jiwa, karena merasa terluka melihat orang lain bahagia? Para ksatria ilmiah tak mampu melihat secara utuh. Mana mungkin sama, orang yang merasa sakit melihat dirinya tak lebih beruntung daripada orang lain, daripada seseorang yang merasa hancur melihat orang yang disayanginya tersesat dan mereka merasa nyaman. And now, why you felt that you on right way, hem? Jon pun kebingungan ketika gurunya bertanya begitu.
Setiap orang memiliki kepesimisan masing-masing dalam hidupnya. Seperti Ibrahim, dia akhirnya bercerita pada bintang, lalu ia berkata, "Inni saqiim," sesungguhnya aku sedang dalam kebingungan yang amat sangat.
Kemudian ia membawa kapak besar penghancur batu. Ia datangi batu-batu yang disembah itu diam-diam. Dia tak marah, hanya putus asa (pada awalnya). Ia juga tak tega menghancurkan batu-batu itu. Maka sebelum menghancurkannya, ia memberi mereka makan, "A laa ta'kuluun?" Mengapa kau tak mau memakannya? Kata Ibrahim. "Ma lakum laa tanthiquun?" Mengapa kau tak menjawabku? Nuansanya seperti seorang hamba yang terlalu lelah menyajikan doa-doa dan ibadah pada Tuhannya, namun Dia tetap saja diam. Lalu dengan menangis, Ibrahim mengayunkan kapak besar itu dengan tangan kanannya. Ia putus asa, mengapa pada yang 'begini' mereka mau percaya. Sedang Ibrahim juga sebenarnya masih setengah ragu, dengan Tuhan seluruh alam setelah fase teologis bulan, bintang, dan matahari yang dianggapnya sebagai Tuhan. Sampai pada akhirnya ia pasrah total setelah menghancurkan batu-batu itu, lalu sebentar lagi ia dibakar.
Tapi, memang mukjizat terkadang turun ketika seseorang dalam kondisi keimannya yang menyakitkan. Maka, Tuhan 'datang' ketika Ibrahim dalam keputusasaannya saat dibakar, yang menjadikan ia memahami bahwa, la yay-assu min rowhillah illa qoumul kafiriin. Putus asa pada Tuhan hanya ada pada orang-orang kafir, kaum yang memilih kesesatan. Fase setelah itu, Ibrahim dikuatkan dengan kekuasaan Tuhan yang menghidupkan potongan burung-burung setelah matinya.
"Setiap orang ada fasenya masing-masing, Jon," nasehat gurunya. "Aku juga pernah. Bahkan rasulullah pernah sangat kebingungan sampai ia akan melompat ke jurang. Aku paham rasanya harus menelan rasa sabar, sedang yang kita butuhkan nampaknya lebih dari sekedar kesabaran yang besar. Lebih. Dan kita tahu, keikhlasan itu bukan maqom orang-orang seperti kita,"
"Lalu aku harus bagaimana, Guru?" tanya Jon.
"Aku juga tak tahu," kata gurunya. "Yuridlullahi bi kumul yusro, wa la yuridly bi kumul 'usro. Keruwetan itu urusan Allah, urusan kita itu yang mudah-mudah. Seharusnya. Mungkin saja, seseorang diposisikan dalam ketidaktahuan agar ia juga mulai bermesraan, menguatkan keimanannya. Ini saatnya kau bergandengan dengan keyakinanmu, Jon. Biarkan pengetahuanmu duduk dulu, izinkan ia sejenak beristirahat,"
"Aku bingung, guru," kata Jon masih menundukan kepala.
"Sama. Kita sama. Aku juga kebingunan," kata gurunya sembari menghembuskan nafas panjang. "Terkadang aku tak punya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan hidup ini. Dan sangat mungkin sangat sebal. Apa yang ingin Tuhan tunjukan dari kesabaran hamba-hamba-Nya? Surga-kah? Mengapa Tuhan memberikan surga pada mereka yang telah memiliki rasa sabar? Bukankah diletakan di nerakanpun mereka akan tetap sama : sabar? Dan begitupun dengan maqom orang-orang ikhlas."
Setiap orang memiliki kepesimisan masing-masing dalam hidupnya. Seperti Ibrahim, dia akhirnya bercerita pada bintang, lalu ia berkata, "Inni saqiim," sesungguhnya aku sedang dalam kebingungan yang amat sangat.
Kemudian ia membawa kapak besar penghancur batu. Ia datangi batu-batu yang disembah itu diam-diam. Dia tak marah, hanya putus asa (pada awalnya). Ia juga tak tega menghancurkan batu-batu itu. Maka sebelum menghancurkannya, ia memberi mereka makan, "A laa ta'kuluun?" Mengapa kau tak mau memakannya? Kata Ibrahim. "Ma lakum laa tanthiquun?" Mengapa kau tak menjawabku? Nuansanya seperti seorang hamba yang terlalu lelah menyajikan doa-doa dan ibadah pada Tuhannya, namun Dia tetap saja diam. Lalu dengan menangis, Ibrahim mengayunkan kapak besar itu dengan tangan kanannya. Ia putus asa, mengapa pada yang 'begini' mereka mau percaya. Sedang Ibrahim juga sebenarnya masih setengah ragu, dengan Tuhan seluruh alam setelah fase teologis bulan, bintang, dan matahari yang dianggapnya sebagai Tuhan. Sampai pada akhirnya ia pasrah total setelah menghancurkan batu-batu itu, lalu sebentar lagi ia dibakar.
Tapi, memang mukjizat terkadang turun ketika seseorang dalam kondisi keimannya yang menyakitkan. Maka, Tuhan 'datang' ketika Ibrahim dalam keputusasaannya saat dibakar, yang menjadikan ia memahami bahwa, la yay-assu min rowhillah illa qoumul kafiriin. Putus asa pada Tuhan hanya ada pada orang-orang kafir, kaum yang memilih kesesatan. Fase setelah itu, Ibrahim dikuatkan dengan kekuasaan Tuhan yang menghidupkan potongan burung-burung setelah matinya.
"Setiap orang ada fasenya masing-masing, Jon," nasehat gurunya. "Aku juga pernah. Bahkan rasulullah pernah sangat kebingungan sampai ia akan melompat ke jurang. Aku paham rasanya harus menelan rasa sabar, sedang yang kita butuhkan nampaknya lebih dari sekedar kesabaran yang besar. Lebih. Dan kita tahu, keikhlasan itu bukan maqom orang-orang seperti kita,"
"Lalu aku harus bagaimana, Guru?" tanya Jon.
"Aku juga tak tahu," kata gurunya. "Yuridlullahi bi kumul yusro, wa la yuridly bi kumul 'usro. Keruwetan itu urusan Allah, urusan kita itu yang mudah-mudah. Seharusnya. Mungkin saja, seseorang diposisikan dalam ketidaktahuan agar ia juga mulai bermesraan, menguatkan keimanannya. Ini saatnya kau bergandengan dengan keyakinanmu, Jon. Biarkan pengetahuanmu duduk dulu, izinkan ia sejenak beristirahat,"
"Aku bingung, guru," kata Jon masih menundukan kepala.
"Sama. Kita sama. Aku juga kebingunan," kata gurunya sembari menghembuskan nafas panjang. "Terkadang aku tak punya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan hidup ini. Dan sangat mungkin sangat sebal. Apa yang ingin Tuhan tunjukan dari kesabaran hamba-hamba-Nya? Surga-kah? Mengapa Tuhan memberikan surga pada mereka yang telah memiliki rasa sabar? Bukankah diletakan di nerakanpun mereka akan tetap sama : sabar? Dan begitupun dengan maqom orang-orang ikhlas."