"Serangan yang harus diwaspadai justru datang dari arah yang tak kita sadari, wa hum la yasy'urun. Serangan itu bertumbuh besar, saat kita menyadarinya, kalla saufata'lamun. Maka, latarowunal jahim, roboh hanya dalam satu pukulan,"
Tokoh kita ini, Jon Quixote, orang yang sangat hati-hati dalam beberapa hal. Dan tentu saja dalam hal lainnya dia ceroboh. Misalnya, yang ia sangat hati-hati adalah bagaimana caranya agar tidak menyakiti perasaan kedua orangtuanya. Bagaimana mungkin ia tak jadi anak muda (yang mulai menua) yang hati-hati, setelah digojlok habis-habisan oleh masyarakat bar-bar berpenampilan ulama? Tentu ia belajar banyak.
Mulai dari kuliah, ia tak mau meminta kiriman, karena ia tahu kondisi ekonomi keluarganya. Tak punya fasilitas kost-an, 'nggarap' skripsi saja menumpang di teman. Tak mengikuti wisuda kampusnya, pun tak masalah menjadi sarjana yang bekerja membersihkan kotoran sapi. Jualan susu pagi dan malam, dan yang lebih berat, adalah tanggungjawab sosial-pendidikan leluhurnya. Bahkan saat hendak menikah pun ia tak pikir pusing.
"Kalau Ibu dan bapak punya calon, silakan," kata Jon. "Karena Jon sama sekali nggak punya kenalan perempuan yang mau menikahi laki-laki dalam kondisi seperti 'ini'," ya, pembaca paham lah ya. Kerempeng, miskin, bau tletong (kotoran) sapi.
Dan benar, dari hampir 10 perempuan kenalan bapak ibu Jon tak satupun mau. Sampai akhirnya mereka menyerahkan pada anaknya itu. "Dah, kami ikut saja, kamu dapat orang mana juga," dengan kesadaran yang sangat hakiki, anak bungsunya ini memang nyaris tak punya alasan mengapa perempuan harus mau dengannya. Dramatis.
Semua itu Jon lakukan agar orangtuanya tak terluka, barangkali ada sikap dia yang mendahului mereka berdua. Sampai dapat jodoh, melamar sendiri, datang ke calon mertua sendiri, menentukan tanggal sendiri, memenej pernikahan sendiri 'semau gue' ala si Jon. Karena buatnya, yang penting orangtua puas, persoalan teman kaget atau tetangga mencibir, itu... Sampah.
Dari SMP si Jon hati-hati, bagaimana caranya agar tidak durhaka, seperti kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan 6 kakaknya. Nyaris berhasil, sampai terakhir ia beruzlah ke kota istrinya, ia paham. Ternyata selama ini penyebab sakit-sakitan yang ia derita itu adalah rasa sebal ibunya yang tak mau diungkap. Karena apa? Hal sepele. Ketika Jon dibuatkan teh, tak diminum. Dibuatkan pagi sebelum kerja, diminum siang sepulang kerja. Dibuatkan masakan, terkadang pilah-pilih, karena Jon tak selalu suka daging/ikan. Disuruh minum susu, menolak. Disuruh minum obat, tak mau. Disuruh makan malam, malah tidur. Bah. Ada saja jalan setan untuk menggoda manusia.
"Jon minta maaf ya bu," curhat Jon. "Kalau memang karena itu ibu jengkel, sebal, Jon sangat menyesal, minta maaf. Memang tanggungjawab pendidikan itu cukup berat, bu. Dan aku nggak pernah kan merepotkan bapak sama ibu meski itu juga tanggungjawab keluarga. Aku mesti memikirkan kesejahteraan guru, sistem pendidikan siswa, pembangunan, beli ini beli itu, perbaikan ini perbaikan itu, konsistensi jamaah pengajian sekolah dan masyarakat, semua itu butuh dana, tanaga, dan ilmu, bu. Tapi Jon nggak pernah kan, sedikitpun meminta ke ibu bapak. Ini persoalan rumit, bu. Jon nggak mau buat hidup ibu dan bapak tambah ruwed,"
Ibu Jon menangis. Paham betapa berat tanggungjawab anaknya, yang seakan Tuhan saja masih membiarkan entah karena apa. Jon memeluk ibunya, meminta maaf, berjanji tak akan mengulangi perbuatannya itu : meski berat.
Hidup Jon Quixote memang rumit.
Tokoh kita ini, Jon Quixote, orang yang sangat hati-hati dalam beberapa hal. Dan tentu saja dalam hal lainnya dia ceroboh. Misalnya, yang ia sangat hati-hati adalah bagaimana caranya agar tidak menyakiti perasaan kedua orangtuanya. Bagaimana mungkin ia tak jadi anak muda (yang mulai menua) yang hati-hati, setelah digojlok habis-habisan oleh masyarakat bar-bar berpenampilan ulama? Tentu ia belajar banyak.
Mulai dari kuliah, ia tak mau meminta kiriman, karena ia tahu kondisi ekonomi keluarganya. Tak punya fasilitas kost-an, 'nggarap' skripsi saja menumpang di teman. Tak mengikuti wisuda kampusnya, pun tak masalah menjadi sarjana yang bekerja membersihkan kotoran sapi. Jualan susu pagi dan malam, dan yang lebih berat, adalah tanggungjawab sosial-pendidikan leluhurnya. Bahkan saat hendak menikah pun ia tak pikir pusing.
"Kalau Ibu dan bapak punya calon, silakan," kata Jon. "Karena Jon sama sekali nggak punya kenalan perempuan yang mau menikahi laki-laki dalam kondisi seperti 'ini'," ya, pembaca paham lah ya. Kerempeng, miskin, bau tletong (kotoran) sapi.
Dan benar, dari hampir 10 perempuan kenalan bapak ibu Jon tak satupun mau. Sampai akhirnya mereka menyerahkan pada anaknya itu. "Dah, kami ikut saja, kamu dapat orang mana juga," dengan kesadaran yang sangat hakiki, anak bungsunya ini memang nyaris tak punya alasan mengapa perempuan harus mau dengannya. Dramatis.
Semua itu Jon lakukan agar orangtuanya tak terluka, barangkali ada sikap dia yang mendahului mereka berdua. Sampai dapat jodoh, melamar sendiri, datang ke calon mertua sendiri, menentukan tanggal sendiri, memenej pernikahan sendiri 'semau gue' ala si Jon. Karena buatnya, yang penting orangtua puas, persoalan teman kaget atau tetangga mencibir, itu... Sampah.
Dari SMP si Jon hati-hati, bagaimana caranya agar tidak durhaka, seperti kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan 6 kakaknya. Nyaris berhasil, sampai terakhir ia beruzlah ke kota istrinya, ia paham. Ternyata selama ini penyebab sakit-sakitan yang ia derita itu adalah rasa sebal ibunya yang tak mau diungkap. Karena apa? Hal sepele. Ketika Jon dibuatkan teh, tak diminum. Dibuatkan pagi sebelum kerja, diminum siang sepulang kerja. Dibuatkan masakan, terkadang pilah-pilih, karena Jon tak selalu suka daging/ikan. Disuruh minum susu, menolak. Disuruh minum obat, tak mau. Disuruh makan malam, malah tidur. Bah. Ada saja jalan setan untuk menggoda manusia.
"Jon minta maaf ya bu," curhat Jon. "Kalau memang karena itu ibu jengkel, sebal, Jon sangat menyesal, minta maaf. Memang tanggungjawab pendidikan itu cukup berat, bu. Dan aku nggak pernah kan merepotkan bapak sama ibu meski itu juga tanggungjawab keluarga. Aku mesti memikirkan kesejahteraan guru, sistem pendidikan siswa, pembangunan, beli ini beli itu, perbaikan ini perbaikan itu, konsistensi jamaah pengajian sekolah dan masyarakat, semua itu butuh dana, tanaga, dan ilmu, bu. Tapi Jon nggak pernah kan, sedikitpun meminta ke ibu bapak. Ini persoalan rumit, bu. Jon nggak mau buat hidup ibu dan bapak tambah ruwed,"
Ibu Jon menangis. Paham betapa berat tanggungjawab anaknya, yang seakan Tuhan saja masih membiarkan entah karena apa. Jon memeluk ibunya, meminta maaf, berjanji tak akan mengulangi perbuatannya itu : meski berat.
Hidup Jon Quixote memang rumit.