Hidayah itu kan pertemuan antara kerinduan mendalam dari hati seorang hamba pada Tuhan dengan kehendak-Nya. Ketika kerinduan dan kehendak itu bertemu, maka hidayah auto-turun. Sebaliknya, ketika kerinduan itu belum tumbuh, maka seperti apapun kita memahamkan, hidayah tertahan di genggaman-Nya. _Wa huwa a'lamu bil muhtadin_. Dia tahu hamba-Nya yg mana yg sudah layak mendapatkan petunjuk-Nya. Dan _man yarzuqu ilma lil ahlul jahl, fa huwa batil_, Ia yg memberikan ilmu pada mereka yg menjaga kebodohannya, maka akan percuma._Jon Q_
"Kamu ingat kisah Abul Qosim Al Junaidi tentang burung yang terluka?" tanya Beth yang sepulang kerja mampir ke kantor bambu si Jon.
"Ingat lah," jawab Jon. "Itu dikisahkan dengan sedikit berbeda oleh sufi Sa'di dari Arab," kalau Abul Qosim tentang burung yang terluka yang tetap dapat rejeki dari teman sesama burung, maka Sa'di menceritakan kisah harimau yang terluka yang diberi makan oleh elang.
"Aku sempat berpikir tadi siang selepas duhur," Beth melanjutkan. Hampir sama seperti si Jon, Beth yang belajar dari sahabat gendengnya itu (Jon), mulai sering tadabur quran selepas sholat. "Bisa jadi, kau ini dalam posisi seperti burung yang terluka itu,"
Jon mendengarkan.
"Maksudku begini," Beth melanjutkan. "Kita sangat intens diskusi tentang perjuangan. Dan sekalipun aku mampu membantumu, kau tak mau pertempuranmu ini melibatkanku lebih jauh. Aku paham itu. Tapi begini, Jon. Ibarat burung yang terluka itu, kemana pun kau pergi (ikhtiar mencari bantuan) justru, dalam kisah itu berarti burung terluka yang memaksakan diri, kau justru akan semakin 'melukai' Tuhanmu,"
Deg!!!
Seakan ada hidayah yang turun tiba-tiba dari langit masuk ke dada si Jon.
"Mengapa kau tak mengizinkan Tuhan untuk mencintaimu, Jon?" Beth menegaskan.
Jon terdiam. Pandangannya tertunduk.
Selama ini ia kira dalam jalan petunjuk Tuhan. Karena tak mau jauh-jauh dari quran, dan juga teladan nabi yang tercermin pada 'ahwal' para ulama terbaik. Ternyata, ia lah yang justru membutuhkan tambahan hidayah di saat-saat ini.
"Kau sendiri yang sering bilang," Beth menambahkan. "Hidayah itu kan pertemuan antara kerinduan mendalam dari hati seorang hamba pada Tuhan dengan kehendak-Nya. Ketika kerinduan dan kehendak itu bertemu, maka hidayah auto-turun. Sebaliknya, ketika kerinduan itu belum tumbuh, maka seperti apapun kita memahamkan, hidayah tertahan di genggaman-Nya. _Wa huwa a'lamu bil muhtadin_. Dia tahu hamba-Nya yg mana yg sudah layak mendapatkan petunjuk-Nya. Dan _man yarzuqu ilma lil ahlul jahl, fa huwa batil_, Ia yg memberikan ilmu pada mereka yg menjaga kebodohannya, maka akan percuma." lanjutnya. "Ingat, Jon, orang-orang yang telah memutuskan sandaran pada apapun selain Tuhan (tawakal), Dia sendiri yang akan mencukupi semua kebutuhannya, min haitsu la yahtasib. Seperti kisah burung tadi," tentang tawakal itu ternyata adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal.
Jon menarik nafas panjang. Serasa ada yang sakit di dada. Memahami bahwa apa yang dijelaskan sahabatnya itu memang yang selama ini ia tunggu : jawaban. Dari pertanyaannya terhadap diri sendiri, jika Tuhan menahan rezeki besar untuk sekolahnya, mengapa rezeki kecil juga ia tahan? Sebatas mengirim istrinya tepat waktu dan sekedarnya saja ia tak mampu. Ternyata, jawabannya adalah memang 'kemampuan' itu bisa jadi akan Tuhan tanggung selama ia masih seperti pengibaratan burung yang terluka itu.
"Aku pamit ya," ucap Beth. "Assalamu'alaikum. ."
"Wa'alaikumsalam," ucap Jon memandangi sahabatnya dengan pandangan kosong. Pikirannya sedang berbincang dengan pemahaman yang baru saja ia dengar dari Beth.
Sekitar sepuluh menit, Beth balik lagi ke ruang si Jon. Tanpa salam tanpa mukodimah, dia mengeluh.
"Ahh, anjir. Rumah dikunci istri, gak tahu dia kemana." ketus Beth. "Jadi aku pulang kerja langsung kesini. Gak ganggu kan, Jon?" Beth langsung duduk nyender di kursi tamu.
"Eh, tadi kan..." Jon kebingungan. "Lah tadi siapa?" gumamnya pelan.
"Kamu ingat kisah Abul Qosim Al Junaidi tentang burung yang terluka?" tanya Beth yang sepulang kerja mampir ke kantor bambu si Jon.
"Ingat lah," jawab Jon. "Itu dikisahkan dengan sedikit berbeda oleh sufi Sa'di dari Arab," kalau Abul Qosim tentang burung yang terluka yang tetap dapat rejeki dari teman sesama burung, maka Sa'di menceritakan kisah harimau yang terluka yang diberi makan oleh elang.
"Aku sempat berpikir tadi siang selepas duhur," Beth melanjutkan. Hampir sama seperti si Jon, Beth yang belajar dari sahabat gendengnya itu (Jon), mulai sering tadabur quran selepas sholat. "Bisa jadi, kau ini dalam posisi seperti burung yang terluka itu,"
Jon mendengarkan.
"Maksudku begini," Beth melanjutkan. "Kita sangat intens diskusi tentang perjuangan. Dan sekalipun aku mampu membantumu, kau tak mau pertempuranmu ini melibatkanku lebih jauh. Aku paham itu. Tapi begini, Jon. Ibarat burung yang terluka itu, kemana pun kau pergi (ikhtiar mencari bantuan) justru, dalam kisah itu berarti burung terluka yang memaksakan diri, kau justru akan semakin 'melukai' Tuhanmu,"
Deg!!!
Seakan ada hidayah yang turun tiba-tiba dari langit masuk ke dada si Jon.
"Mengapa kau tak mengizinkan Tuhan untuk mencintaimu, Jon?" Beth menegaskan.
Jon terdiam. Pandangannya tertunduk.
Selama ini ia kira dalam jalan petunjuk Tuhan. Karena tak mau jauh-jauh dari quran, dan juga teladan nabi yang tercermin pada 'ahwal' para ulama terbaik. Ternyata, ia lah yang justru membutuhkan tambahan hidayah di saat-saat ini.
"Kau sendiri yang sering bilang," Beth menambahkan. "Hidayah itu kan pertemuan antara kerinduan mendalam dari hati seorang hamba pada Tuhan dengan kehendak-Nya. Ketika kerinduan dan kehendak itu bertemu, maka hidayah auto-turun. Sebaliknya, ketika kerinduan itu belum tumbuh, maka seperti apapun kita memahamkan, hidayah tertahan di genggaman-Nya. _Wa huwa a'lamu bil muhtadin_. Dia tahu hamba-Nya yg mana yg sudah layak mendapatkan petunjuk-Nya. Dan _man yarzuqu ilma lil ahlul jahl, fa huwa batil_, Ia yg memberikan ilmu pada mereka yg menjaga kebodohannya, maka akan percuma." lanjutnya. "Ingat, Jon, orang-orang yang telah memutuskan sandaran pada apapun selain Tuhan (tawakal), Dia sendiri yang akan mencukupi semua kebutuhannya, min haitsu la yahtasib. Seperti kisah burung tadi," tentang tawakal itu ternyata adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal.
Jon menarik nafas panjang. Serasa ada yang sakit di dada. Memahami bahwa apa yang dijelaskan sahabatnya itu memang yang selama ini ia tunggu : jawaban. Dari pertanyaannya terhadap diri sendiri, jika Tuhan menahan rezeki besar untuk sekolahnya, mengapa rezeki kecil juga ia tahan? Sebatas mengirim istrinya tepat waktu dan sekedarnya saja ia tak mampu. Ternyata, jawabannya adalah memang 'kemampuan' itu bisa jadi akan Tuhan tanggung selama ia masih seperti pengibaratan burung yang terluka itu.
"Aku pamit ya," ucap Beth. "Assalamu'alaikum. ."
"Wa'alaikumsalam," ucap Jon memandangi sahabatnya dengan pandangan kosong. Pikirannya sedang berbincang dengan pemahaman yang baru saja ia dengar dari Beth.
Sekitar sepuluh menit, Beth balik lagi ke ruang si Jon. Tanpa salam tanpa mukodimah, dia mengeluh.
"Ahh, anjir. Rumah dikunci istri, gak tahu dia kemana." ketus Beth. "Jadi aku pulang kerja langsung kesini. Gak ganggu kan, Jon?" Beth langsung duduk nyender di kursi tamu.
"Eh, tadi kan..." Jon kebingungan. "Lah tadi siapa?" gumamnya pelan.