"Kau ingat kisah Qobishoh, Jon," tanya Beth yang mampir sore lalu.
"Ya, yang meminta pada rasulullah untuk mengemis itu?" jawab Jon.
"Iya," ucap Beth. "Ini metafora saja, Jon. Hidupmu begitu sombong. Kesombongan yang mendarah-tulang,"
"Haha," Jon tertawa mendengar kata 'tulang'. Mereka sahabat sangat dekat, kritik pedas apapun darinya tak akan teranggap sebagai kebencian dari hati Beth.
"Qobishoh meminta izin mengemis pada Rasulullah, tapi justru nabi kita memintanya untuk menunggu sedekah." Beth mulai menganalisis. "Aku tahu kau sangat mengerti kisah ini. Tentang tiga jenis orang yang dibolehkan mengemis sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sekedar ya, bukan untuk kekayaan."
"He'eum. Terus?" lanjut Jon.
"Kau akan semakin teranggap aneh oleh orang-orang, keluargamu khususnya, dalam kondisi yang mengharuskanmu untuk mengemis, kau memilih bertahan," Beth meneruskan. "Kau pasti tahu ayat 'min sa-illi wal mahrum', orang-orang yang berhak menerima infaq, baik yang meminta ataupun yang tak mau meminta-minta. Mengapa kau memilih untuk disu'udzoni banyak orang termasuk istrimu sendiri? Kau sangat berlebihan,"
"Aku dengar, Beth. Lanjutkan analisismu," pinta Jon.
"Rasulullah itu uzlah, menjauh dari kehangatan kamar dan istrinya, hanya dari jam 10-an, sampai jam 2-an pagi, lah uzlahmu itu keterlaluan. Berbulan-bulan baru ketemu anak istri," tambah Beth. "Rasulullah itu tidak setiap hari berkhalwat, ke gua hiro, lah khalwatmu itu tiap hari, dari siang sampai bahkan malam hari di kantor bambumu itu. Rasul saja tidak melakukan se-ekstrim itu. Sombongmu mendarah-tulang,"
"Haha, kampret," Jon misuh-misuh. "Cuma di depanmu aku berani ketawa bebas. Kau tahu kan dulu aku mudah sekali tertawa?"
"Eh iya. Aku baru sadar, kenapa kau jarang ketawa atau bahkan sekedar tersenyum ke banyak orang, Jon?" tanya Beth.
"Ya tadi, kau bilang sendiri aku ini orang yang sombong," jawab Jon. "Setelah beberapa kejadian, ketika senyum dan tawaku membuat beberapa orang sakit hati, aku makin melow,"
"Bhahaha," kini gantian Beth yang tertawa. "Kalau hanya dengan senyummu saja mereka terlukai, bagaimana dengan brengseknya ilmu-mu ketika menelanjangi kebodohan seseorang? Haha,"
"Kau juga paham, Beth, aku sudah tak hidup dengan logika umum yang dikonstruksi (terbangun) oleh masyarakat," Jon membela diri. "Satu-satunya yang mengikatku di tempat ini ya perjuangan pendidikan itu. Ini yang mungkin disebut 'jihadu fi sabilillah bi amwalikum, wa anfushikum'. Persoalan banyak orang tak terima, termasuk istriku yang sedang dalam proses memahami, itu sama sekali tak menjadi masalah untukku. Menjadi masalah itu ketika Allah berhenti menurunkan rahmat-Nya padaku, tak mau bermesraan berbincang dekat, dan tak mampu bersholawat abadan lagi. Tentang istri, kalaupun kemarahannya padaku membuatnya bahagia, kan memang itu tujuan pernikahan : salah satunya. Jika kemarahannya padaku membuatnya senang, bahagia, its ok. Dengan ini juga aku disebut keras kepala, atau sombong luar biasa,"
"Ya, yang meminta pada rasulullah untuk mengemis itu?" jawab Jon.
"Iya," ucap Beth. "Ini metafora saja, Jon. Hidupmu begitu sombong. Kesombongan yang mendarah-tulang,"
"Haha," Jon tertawa mendengar kata 'tulang'. Mereka sahabat sangat dekat, kritik pedas apapun darinya tak akan teranggap sebagai kebencian dari hati Beth.
"Qobishoh meminta izin mengemis pada Rasulullah, tapi justru nabi kita memintanya untuk menunggu sedekah." Beth mulai menganalisis. "Aku tahu kau sangat mengerti kisah ini. Tentang tiga jenis orang yang dibolehkan mengemis sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sekedar ya, bukan untuk kekayaan."
"He'eum. Terus?" lanjut Jon.
"Kau akan semakin teranggap aneh oleh orang-orang, keluargamu khususnya, dalam kondisi yang mengharuskanmu untuk mengemis, kau memilih bertahan," Beth meneruskan. "Kau pasti tahu ayat 'min sa-illi wal mahrum', orang-orang yang berhak menerima infaq, baik yang meminta ataupun yang tak mau meminta-minta. Mengapa kau memilih untuk disu'udzoni banyak orang termasuk istrimu sendiri? Kau sangat berlebihan,"
"Aku dengar, Beth. Lanjutkan analisismu," pinta Jon.
"Rasulullah itu uzlah, menjauh dari kehangatan kamar dan istrinya, hanya dari jam 10-an, sampai jam 2-an pagi, lah uzlahmu itu keterlaluan. Berbulan-bulan baru ketemu anak istri," tambah Beth. "Rasulullah itu tidak setiap hari berkhalwat, ke gua hiro, lah khalwatmu itu tiap hari, dari siang sampai bahkan malam hari di kantor bambumu itu. Rasul saja tidak melakukan se-ekstrim itu. Sombongmu mendarah-tulang,"
"Haha, kampret," Jon misuh-misuh. "Cuma di depanmu aku berani ketawa bebas. Kau tahu kan dulu aku mudah sekali tertawa?"
"Eh iya. Aku baru sadar, kenapa kau jarang ketawa atau bahkan sekedar tersenyum ke banyak orang, Jon?" tanya Beth.
"Ya tadi, kau bilang sendiri aku ini orang yang sombong," jawab Jon. "Setelah beberapa kejadian, ketika senyum dan tawaku membuat beberapa orang sakit hati, aku makin melow,"
"Bhahaha," kini gantian Beth yang tertawa. "Kalau hanya dengan senyummu saja mereka terlukai, bagaimana dengan brengseknya ilmu-mu ketika menelanjangi kebodohan seseorang? Haha,"
"Kau juga paham, Beth, aku sudah tak hidup dengan logika umum yang dikonstruksi (terbangun) oleh masyarakat," Jon membela diri. "Satu-satunya yang mengikatku di tempat ini ya perjuangan pendidikan itu. Ini yang mungkin disebut 'jihadu fi sabilillah bi amwalikum, wa anfushikum'. Persoalan banyak orang tak terima, termasuk istriku yang sedang dalam proses memahami, itu sama sekali tak menjadi masalah untukku. Menjadi masalah itu ketika Allah berhenti menurunkan rahmat-Nya padaku, tak mau bermesraan berbincang dekat, dan tak mampu bersholawat abadan lagi. Tentang istri, kalaupun kemarahannya padaku membuatnya bahagia, kan memang itu tujuan pernikahan : salah satunya. Jika kemarahannya padaku membuatnya senang, bahagia, its ok. Dengan ini juga aku disebut keras kepala, atau sombong luar biasa,"