Ada kekhawatiran yang memang perlu dijaga, dan ada kekhawatiran yang tidak seharusnya mengganggu jiwa. Kekhawatiran pertama adalah jenis yang melahirkan nuansa tak tega, yang bersumber dari,
yang menjadikan beliau 'azizun alaihim ma anittum hariishun kepada orang-orang beriman dan alam semesta. Hasil ujungnya adalah 'wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin'. Dan beliau pun (rasulullah) sangat khawatir jika ada satu umatnya saja tertinggal di neraka, atau bahkan tersesat ketika di dunia. Maka diwariskanlah dua pusaka : quran dan sunnah nabi yang terwujudkan dalam ahwal ulama. Juga ketika perang badar, betapa kekhawatiran itu sampai-sampai rasulullah 'meneror' Tuhan, saking cintanya, allahuma intuhlika hadzihil ishobah min ahlil islam la tu'bad fil ardli! Doa ini dipakai seorang kader partai anu, dan tetap saja kalah. Senjata hebat di tangan awam tetap saja hasilnya ditertawakan.
Kekhawatiran jenis kedua adalah tentang dunia, tentang materi, tentang 'label', yang tak menjadikan kita lebih dekat pada Tuhan, dan menambah kemesraan kita pada semesta. Khawatir jabatan, uang, istri/suami mendua, ditinggalkan teman, bubarnya perusahaan, fitnah, atau yang lebih rendah dari itu semacam tak terima kalah melulu game online. Itu... Dahsyat.
Tapi manusia selalu diberikan pilihan untuk mencari seorang wazir, shodiq, shohabat, atau seseorang yang kelihatannya bisa untuk bersandar dalam perjuangannya. Jangan salah artikan ketika rasul berdoa 'allohuma al izzah islam bi amru ibn hisyam (abu jahal) au umar ibn khottob', itu agar rasul bersandar pada salah satu jawara mekah itu. Melainkan semacam bagian tubuh yang memang dibutuhkan jika tak ada itu maka akan susah tumbuh.
Obat dari kekhawatiran jenis kedua ini adalah aladzina yadzkurunallaha qiyamaw wa qu'udaw wa alaa junuubihim, bukan tentang apa dzikirnya, melainkan konsistensi, pertarungan tegang antara frekuensi dunia dan Tuhan. Semakin tak ada tempat untuk dunia, maka semakin alaa bidzikrillahi tathma'inul qulb. Atau semakin dikuatkan jiwanya, liyazdadu imana ma'a imanihim. Karena tidak ada pilihan untuk seorang hamba mengabdi pada dua majikan, dloroballahu matsalan rojulan fihi syuroka, akan bingung dia, merekayasa ketenangan hati, karena harus memastikan ketika ia mendapat kemudahan dari wazir/link/jaringan adalah benar-benar perasaan bersyukur hanya pada Tuhan, atau justru haddunas yang bertalbis Tuhan.
Jumat, 1 November 2019
yang menjadikan beliau 'azizun alaihim ma anittum hariishun kepada orang-orang beriman dan alam semesta. Hasil ujungnya adalah 'wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin'. Dan beliau pun (rasulullah) sangat khawatir jika ada satu umatnya saja tertinggal di neraka, atau bahkan tersesat ketika di dunia. Maka diwariskanlah dua pusaka : quran dan sunnah nabi yang terwujudkan dalam ahwal ulama. Juga ketika perang badar, betapa kekhawatiran itu sampai-sampai rasulullah 'meneror' Tuhan, saking cintanya, allahuma intuhlika hadzihil ishobah min ahlil islam la tu'bad fil ardli! Doa ini dipakai seorang kader partai anu, dan tetap saja kalah. Senjata hebat di tangan awam tetap saja hasilnya ditertawakan.
Kekhawatiran jenis kedua adalah tentang dunia, tentang materi, tentang 'label', yang tak menjadikan kita lebih dekat pada Tuhan, dan menambah kemesraan kita pada semesta. Khawatir jabatan, uang, istri/suami mendua, ditinggalkan teman, bubarnya perusahaan, fitnah, atau yang lebih rendah dari itu semacam tak terima kalah melulu game online. Itu... Dahsyat.
Tapi manusia selalu diberikan pilihan untuk mencari seorang wazir, shodiq, shohabat, atau seseorang yang kelihatannya bisa untuk bersandar dalam perjuangannya. Jangan salah artikan ketika rasul berdoa 'allohuma al izzah islam bi amru ibn hisyam (abu jahal) au umar ibn khottob', itu agar rasul bersandar pada salah satu jawara mekah itu. Melainkan semacam bagian tubuh yang memang dibutuhkan jika tak ada itu maka akan susah tumbuh.
Obat dari kekhawatiran jenis kedua ini adalah aladzina yadzkurunallaha qiyamaw wa qu'udaw wa alaa junuubihim, bukan tentang apa dzikirnya, melainkan konsistensi, pertarungan tegang antara frekuensi dunia dan Tuhan. Semakin tak ada tempat untuk dunia, maka semakin alaa bidzikrillahi tathma'inul qulb. Atau semakin dikuatkan jiwanya, liyazdadu imana ma'a imanihim. Karena tidak ada pilihan untuk seorang hamba mengabdi pada dua majikan, dloroballahu matsalan rojulan fihi syuroka, akan bingung dia, merekayasa ketenangan hati, karena harus memastikan ketika ia mendapat kemudahan dari wazir/link/jaringan adalah benar-benar perasaan bersyukur hanya pada Tuhan, atau justru haddunas yang bertalbis Tuhan.
Jumat, 1 November 2019