Rabu, 25 Desember 2019
Mengaji Al Hikam pada Mbah Kyai Sholeh Darat, hari ini penjelasan itu dibukakan. Tepat hanya beberapa jam sebelum kabar rejeki (yang mudah-mudahan datang) untuk orangtua dan anak-anaknya (kakak-kakaknya) si Jon. Mbah Kyai mendedarkan tentang amal ibadah manusia yang tak bisa membawa manusia ke surga, atau kemudahan hidup apapun. Bahwa Allah-lah semua hal dapat terjadi. Tidak ada yang lebih berkuasa di semesta ini atau di ruang dan waktu manapun selain Dia. Termasuk amal ibadah atau dosa-dosa, tak lebih berkuasa daripada-Nya. Manusia terlalu berharap pada amalnya, atau kesalahan-kesalahan dan dosanya, yang menjadikan ia berpikir hidupnya begitu mudah atau tersiksa. Sedang sebenarnya amal baik atau dosa tak sedikitpun punya kuasa untuk mendatangkan manfaat atau bahaya dalam hidup mereka. Allah-lah yang maha meng-qodarkan.
Persoalan manusia memang selalu karena berpikir di level kedua. Manusia berpikir amalnya membuat hidupnya mudah, sedang sebenarnya Allah yang membuat itu. Manusia berpikir dosa-dosanya-lah yang menjadikan hidupnya susah, sedang Allah-lah yang berkuasa di atas segalanya. Misi manusia kenapa ia diciptakan 'hanyalah' untuk mengenal-Nya. Selebihnya bersenang-senang dalam kesadarannya sebagai manusia yang terbatas. Manusia berpikir bagaimana mungkin ia dibangkitkan setelah mati. Sedangkan dulu, manusia bahkan bahan-bahannya belum ada tapi mampu Allah adakan. Manusia berpikir seperti Nabi Zakaria yang menyangka tak bisa punya anak karena istrinya sakit dan ia sendiri sudah tua. Sedang dulu, manusia belum ada saja mampu Allah ciptakan sesempurna-sempurnanya. Dan tokoh kita, Jon Quixote, berpikir : bagaimana mungkin ia mampu membangun sekolah dan peradaban sedang dia hanyalah manusia lemah dan teranggap anak kecil yang sinting oleh masyarakatnya? Sedangkan dulu, ia sama sekali tak berpikir tentang tanggung jawab itu, pun Allah adakan beserta perangkat-perangkatnya. Dan tentang peradaban? Ada sumbangsih apa dia dalam penciptaan langit dan bumi? Dan Allah mengadakan semua itu. Jangankan hanya sekolah, klinik kesehatan gratis atau sawah ladang untuk kesejahteraan bersama, bumi dan langit Allah ciptakan beserta penduduknya yang tak manusia ketahui, semudah menghilangkannya suatu saat nanti.
Jon tertunduk lemas mendengar penjelasan dari Mbah Kyai. Ia sadar.
"Aku hanya butuh persaksian-Mu, Tuhanku, bahwa aku tak pernah meminta apapun dari orangtuaku. Saat mereka menjual harta benda ataupun harga dirinya untuk anak-anaknya. Bagi mereka mungkin itu setimpal, sedikit rejeki yang Engkau datangkan sebagai ganti derita kami. Tapi itu untuk mereka, Tuhanku, untuk mereka. Bagiku, Ya Allah..."
"Aku akan tetap dalam disiplin hidup seperti ini, Insya Allah. Tak peduli sebesar apa Engkau memberi kami keluasan rejeki. Engkau mendidikku untuk tak berharap pada dunia, pada manusia, bahkan pada amal ibadahku sendiri. Kemudian Engkau goda aku dengan rejeki orangtuaku yang sedikitpun aku merasa tak adil jika Engkau anggap itu mampu menghapus beban beratku itu. Tidak, Tuhanku. Aku cukup Engkau. Cukup Engkau yang selalu menghiburku setiap saat. Tak peduli teranggap sebagai anak kecil yang cengeng atau orang gila yang sok pintar. Bagiku cukup Engkau yang selalu ada. Aku tahu Engkau maha adil, maha kaya, dan Engkau juga kuasa. Jikapun Engkau melemparkanku ke neraka, tak membalas beban berat ini, setidaknya aku mendapat ridho-Mu disana. Dan memang selama hidup ini pun aku mendidik diri untuk lebih merasa pantas dilemparkan ke dalam neraka, daripada harus merasa layak mendapatkan surga."
Ya hanan, ya manan, ya dzal jalali wal ikram....
Ya mujib basa-ilin, alhamdulillah robbal alamin...
Mengaji Al Hikam pada Mbah Kyai Sholeh Darat, hari ini penjelasan itu dibukakan. Tepat hanya beberapa jam sebelum kabar rejeki (yang mudah-mudahan datang) untuk orangtua dan anak-anaknya (kakak-kakaknya) si Jon. Mbah Kyai mendedarkan tentang amal ibadah manusia yang tak bisa membawa manusia ke surga, atau kemudahan hidup apapun. Bahwa Allah-lah semua hal dapat terjadi. Tidak ada yang lebih berkuasa di semesta ini atau di ruang dan waktu manapun selain Dia. Termasuk amal ibadah atau dosa-dosa, tak lebih berkuasa daripada-Nya. Manusia terlalu berharap pada amalnya, atau kesalahan-kesalahan dan dosanya, yang menjadikan ia berpikir hidupnya begitu mudah atau tersiksa. Sedang sebenarnya amal baik atau dosa tak sedikitpun punya kuasa untuk mendatangkan manfaat atau bahaya dalam hidup mereka. Allah-lah yang maha meng-qodarkan.
Persoalan manusia memang selalu karena berpikir di level kedua. Manusia berpikir amalnya membuat hidupnya mudah, sedang sebenarnya Allah yang membuat itu. Manusia berpikir dosa-dosanya-lah yang menjadikan hidupnya susah, sedang Allah-lah yang berkuasa di atas segalanya. Misi manusia kenapa ia diciptakan 'hanyalah' untuk mengenal-Nya. Selebihnya bersenang-senang dalam kesadarannya sebagai manusia yang terbatas. Manusia berpikir bagaimana mungkin ia dibangkitkan setelah mati. Sedangkan dulu, manusia bahkan bahan-bahannya belum ada tapi mampu Allah adakan. Manusia berpikir seperti Nabi Zakaria yang menyangka tak bisa punya anak karena istrinya sakit dan ia sendiri sudah tua. Sedang dulu, manusia belum ada saja mampu Allah ciptakan sesempurna-sempurnanya. Dan tokoh kita, Jon Quixote, berpikir : bagaimana mungkin ia mampu membangun sekolah dan peradaban sedang dia hanyalah manusia lemah dan teranggap anak kecil yang sinting oleh masyarakatnya? Sedangkan dulu, ia sama sekali tak berpikir tentang tanggung jawab itu, pun Allah adakan beserta perangkat-perangkatnya. Dan tentang peradaban? Ada sumbangsih apa dia dalam penciptaan langit dan bumi? Dan Allah mengadakan semua itu. Jangankan hanya sekolah, klinik kesehatan gratis atau sawah ladang untuk kesejahteraan bersama, bumi dan langit Allah ciptakan beserta penduduknya yang tak manusia ketahui, semudah menghilangkannya suatu saat nanti.
Jon tertunduk lemas mendengar penjelasan dari Mbah Kyai. Ia sadar.
"Aku hanya butuh persaksian-Mu, Tuhanku, bahwa aku tak pernah meminta apapun dari orangtuaku. Saat mereka menjual harta benda ataupun harga dirinya untuk anak-anaknya. Bagi mereka mungkin itu setimpal, sedikit rejeki yang Engkau datangkan sebagai ganti derita kami. Tapi itu untuk mereka, Tuhanku, untuk mereka. Bagiku, Ya Allah..."
"Aku akan tetap dalam disiplin hidup seperti ini, Insya Allah. Tak peduli sebesar apa Engkau memberi kami keluasan rejeki. Engkau mendidikku untuk tak berharap pada dunia, pada manusia, bahkan pada amal ibadahku sendiri. Kemudian Engkau goda aku dengan rejeki orangtuaku yang sedikitpun aku merasa tak adil jika Engkau anggap itu mampu menghapus beban beratku itu. Tidak, Tuhanku. Aku cukup Engkau. Cukup Engkau yang selalu menghiburku setiap saat. Tak peduli teranggap sebagai anak kecil yang cengeng atau orang gila yang sok pintar. Bagiku cukup Engkau yang selalu ada. Aku tahu Engkau maha adil, maha kaya, dan Engkau juga kuasa. Jikapun Engkau melemparkanku ke neraka, tak membalas beban berat ini, setidaknya aku mendapat ridho-Mu disana. Dan memang selama hidup ini pun aku mendidik diri untuk lebih merasa pantas dilemparkan ke dalam neraka, daripada harus merasa layak mendapatkan surga."
Ya hanan, ya manan, ya dzal jalali wal ikram....
Ya mujib basa-ilin, alhamdulillah robbal alamin...