Dari Hudaibiyah ke Piagam Madinah

Java Tivi
0
Dari sekian banyak scene dilema besar yang dialami Jon Quixote, satu di antaranya adalah ketika persoalan sertifikat waqaf kakek neneknya yang hendak direbut sebagian masyarakat desa. Bukan kebetulan, dia khatam belajar bagaimana pedihnya ketika berada di antara dua pilihan sulit di atas hak umat, dengan pertaruhan rusaknya hubungan keluarga. Kisah singkatnya...

Tahun 2015, setelah Jon istikhoroh tanpa putus hari, dia memutuskan untuk melakukan satu tindakan 'sinting'. Dia tak bisa membiarkan sekolahnya dikepung begitu banyak persoalan, yang bukan hanya sistemik, tetapi juga berefek bola salju (semakin hari makin besar). Ia harus ambil langkah, bagaimana caranya setidaknya mereka tak meneror sekolah yang memang harus segera ditata segala sesuatunya pelan-pelan. Singkat kata, Jon dan ayahnya sepakat menerima usulan pihak kementerian kota untuk MENITIPKAN sejumlah sertifikat itu dengan luas tanah ±4000 meter² lebih. Usul itu dari oknum kementerian, yang juga diam-diam ingin mengambil sertifikat itu untuk obyekannya setelah pensiun nanti. Jadi, selain dari sejumlah masyarakat yang secara ganas ingin merebut sertifikat itu dengan mengancam sekolah si Jon, juga dari oknum kementerian sebagai rival lainnya.

Dilema yang menyayat hati ketika hendak terjadi penitipan sertifikat, yang disaksikan pejabat-pejabat kementerian, yayasan, dan masyarakat yang berkomplot itu, kakak laki-laki Jon di telepon marah besar.

"Pokoknya, kalau kamu melakukan itu (menitipkan sertifikat), DEMI ALLAH! Jangan anggap saya sebagai kakakmu lagi!!!" kakak si Jon tak paham kalau teleponnya di loud speaker, dan kepala kementerian juga mendengar itu. Seketika Jon diperdengarkan ayat fa hal 'asaytum intawalaytum antufsidu fil ardli wa tuqothi'u arhamakum? Surat Muhammad. Apakah jika engkau diberikan suatu kekuasaan, kau akan melakukan kerusakan dan memutuskan hubungan kasih sayang?

Jon Quixote dilema tragis. Di satu sisi ia harus merapikan sekolah itu yang memang sudah sakaratul maut. Di sisi lain, masyarakat dan oknum kementerian tak akan berhenti mengintimidasi sekolahnya. Jika masyarakat awam termakan fitnah seperti yang sudah-sudah, kemudian sekolah itu tak dapat siswa, maka perjuangan kakek neneknya untuk memutus rantai kebodohan di desa itu sirna. Tapi di sisi lain, Jon akan teranggap sebagai musuh oleh kakaknya sendiri entah sampai kapan jika ia melakukan tindakan itu. Bagaimana ini?

Kemudian ia teringat kisah perjanjian hudaibiyah dan piagam madinah. Ketika perjanjian hudaybiyah :

*Kalau ada orang kafir masuk islam, Muhammad wajib mengembalikannya ke Mekkah. Karena Mekkah adalah habitat orang kafir.

*Kalau ada orang Muslim murtad jadi kafir, maka Muhammad harus merelakannya karena Madinah bukan habitatnya (orang kafir quraish). Dengan imbalan...

*Di Mekkah, dibebaskan orang-orang kafir atau siapapun berdiskusi tentang Islam, tentang Tuhan. (Yang berefek keimanan. Diskusi teologis memang mengkhawatirkan)

Perjanjian yang tak adil itu menjadikan Umar bin Khottob geram. Ia sampai menyangsikan kerasulan Nabi Muhammad.

"Alasta bi rosulullah???" kalau bahasa kita, "Sampean masih jadi rosul, eh?" perjanjian tak adil begitu kok mau? Bahkan anak Suhail bin Amr, Jandal bin Suhail yang berlari dalam kondisi masih dirantai disiksa, meminta agar dibawa rasul ke Madinah, nabi Muhammad tak bisa apa-apa. Karena rasul tak pernah mengingkari janjinya.

Dan oleh si Jon, nada-nada ketika Umar berkata 'Alasta bi rasulullah?' itu seperti ketika kakaknya mengancam atas nama Allah akan memutuskan tali persaudaraan yang sebenarnya tak bisa putus. Tentu saja, levelnya sangat jauh berbeda, tapi itu yang menjadikan dia berani untuk mengambil langkah nekat itu.

Selain perjanjian hudaibiyah, ia juga khatam mempelajari dilematika ketika piagam madinah dibuat. Pasal-pasal yang memberatkan kaum mukmin, sekalipun saat itu kaum muslim sudah relatif banyak. Ia paham, sekalipun umat muslim sudah sangat berkembang jumlahnya, tetap saja bagi orang-orang kafir dan yahudi madinah, damai dengan orang mukmin tidak ada gunanya. Maka, jika tak ada untungnya, mengapa mereka harus mengikuti dan menyepakati piagam itu? Lagi-lagi rasulullah memerankan kecerdasannya. Sabar sedikit, dan memberi kesempatan agar hidayah masuk ke relung-relung hati mereka (orang kafir). Dari Hudaibiyah sampai ke Piagam Madinah, rasulullah memberi kesempatan agar orang-orang kafir itu melihat, siapa yang lebih kuat, lebih keras kepala, kami dengan kesabaran atas dasar iman, atau kalian yang memegang kebodohan tanpa pegangan.

Tahun pun berganti. Kepala kementerian diganti oleh orang yang sedikit lebih paham, meski juga tak memihak si Jon. It's oke. Ini memang pertarungannya, tak boleh seseorang ikut babak belur di dalam rimba sana. Sekalipun ada ladang pahala yang begitu besar ketika meringankan beban Jon, tetap saja perhitungannya adalah : apa untungnya bagiku? Seperti kaum yang di atas itu.

Kepala kementerian tahu tentang persoalan itu. Dengan tegas menyuruh bawahannya untuk tidak menyimpan barang titipan si Jon dan ayahnya. Jon Quixote tersenyum. Mereka paham itu adalah bom waktu. Mengapa? Karena semua sertifikat itu sudah tercatat di kementerian hukum dan ham negara, bahwa itu dikelola oleh yayasan bapaknya si Jon. Tidak ada produk hukum (yang Jon tahu), yang bisa menggugurkan itu kecuali Banding di Mahkamah Konstitusi. Wah, ramai ya?

Kepala.kementerian yang baru tak mau menanggung beban. Pihak kelurahan desa sekolah Jon dipanggil. Diadakan rapat tertutup, pelimpahan 'bom waktu' itu ke kelurahan. Lalu....???

Di pihak kelurahan ribut. Menyebarkan isu akan menggugat ke pengadilan. Notaris dan yayasannya sebagai terdakwa. Tapi setelah mediasi, mereka, pihak kelurahan blunder. Justru mereka lah yang jadi terdakwa, semisal si Jon punya motor, BPKB atas namanya dan berada di tangannya, tapi motor dan STNK disita di kelurahan tanpa kesalahan yang jelas. Jadi, bagaimana????

Ya, ini sih cuma cerita. Satu scene kisah Jon Quixote. Jangan terbawa alur cerita. Dia memang orang sinting yang entah maunya apa. Seseorang yang hanya bergerak karena maunya Tuhan memang menyusahkan pikiran.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)