Mereka turun menemanimu yang kesepian dan tersakiti bertubi-tubi.
"Kalau aku pikir-pikir, corona itu seakan mewujudkan rasa sakitmu selama ini di 'goa' itu," kata Beth dari balik speaker handphone. Goa yang dimaksud adalah tempat pertempuran Jon selama kurang lebih 10 tahun ini.
"Maksudmu gimana?" tanya Jon.
"Coba lu baca berita," kata Beth. Si Jon memang tak mengikuti kabar corona. Energinya ia arahkan ke 'wilayah' lain yang memang 10 tahun ini ia tunggu-tunggu Tuhan berikan. "Sekarang suami istri saja mikir dua kali kalau mau hubungan, karena takut saling bertukar virus. Ini kan pas banget denganmu, yang puasa dari awal nikah buat nggak 'begituan' terlalu sering sama istri, karena memang jauh. Social distance, ya kan? Kemudian jadi fisik distance,"
Jon mendengarkan.
"Terus tentang pekerjaan, dengan covid-19, orang-orang seakan dipaksa 'nganggur' meski mereka tak dipecat dari pekerjaannya. Kau kan begitu, kerja, tapi gaji nggak jelas," lanjut Beth.
Jon cuma nyengir.
"Nggak tanggung tanggung, kau jewer juga pemerintah, dari pusat sampai daerah dan lokal," nyerocos Beth sembrono. "Karena memang mereka tak peduli dengan tanggungjawab pendidikan seperti yang kau pegang, dan mungkin ribuan kasus di berbagai wilayah. Tapi, kasusmu paling unik,"
"Sholat jumat ditiadakan, protesmu dan banyak orang sepertimu tentang khotbah jumat terkabul," lanjut Beth. "UN yang kau memang tak bisa protes karena di sekolahmu itu yang sebagiannya adalah anak-anak ABK, kini lenyap,"
"Sekarang pertanyaannya," kata Beth lagi. "Are u will go with them, if its finish their job, Jon?"
Si Jon tertawa.
Sejak ramainya covid-19 itu, Jon tak begitu mengikuti kabar tentang itu. Baginya, jangankan 'menewaskan' dirinya yang ringkih dan lemah itu, bahkan alam semesta, jika Tuhan mau Dia dengan sangat mudahnya untuk menghancurkan itu. Sepuluh tahun ini hidupnya seperti orang mengandung, wahnan alaa wahnin, ditambah lagi dan lagi beban hidupnya. Tekanannya berkurang, katanya, meski berat bebannya masih sama. Tak perlu diceritakan lagi, dalam kisah Jon Quixote di blog ini, dapat dilacak ruwetnya masalah yang ia hadapi. Dari mulai diri yang miskin dan sakit-sakitan, keluarga, sampai medan tempur yang entah sampai kapan akan mulai berakhir, dan hijrah.
Tentu saja ia tak menganggap kedatangan makhluk Allah bernama Covid-19 itu hanya sebagai berkah. Atau sebenarnya ia sudah tak punya definisi lagi untuk semua fenomena hidup yang berubah-ubah. Yang dipikirkannya selalu sama : hidupku sudah berat, untuk apa aku menambah bebannya lagi. Yang datang silakan datang, yang pergi tetap akan pergi. Tak ada satu kekuatanpun yang mampu menghalangi, ketika Tuhan sudah mengingini : tentu saja kecuali Dia sendiri.
Simbahnya berpesan untuk menyelesaikan sholat khusyuk dan puasanya sampai beberapa bulan lagi. Dan dia pun mantap. Setidaknya 10 tahun ini ia sudah berikhtiar itu. Jika pun seumur hidup, ah, 10 tahun atau seumur hidup apa bedanya? Nasi tetap disebut nasi dalam konsepnya, sekalipun terbawa ke masa yang jauh di depan sana. Juga tentang 'mata uang' ashabul kahfi yang sudah tak laku lagi di masyarakat. Sedang si Jon, bukan cuma 'uang' (materi) saja yang memang tak dianggap ada di masyarakat. All of him, dia kepala sekolah, tapi tak menginginkan penghormatan plus tak masalah merumat masyarakat yang terbuang. Dia menikah, tapi 'tak laku' dalam berrumah tangga. Dia bekerja tapi 'tak laku' dalam imbalan. Dia berilmu dan berpengalaman dalam pendidikan, tapi 'tak laku' di sekolah-sekolah mana pun ia datang. The caveman, manusia goa. Terasing, tak laku, kesepian, memikul bebatuan di atas punggungnya, semacam Sishypus. Manusia yang dilockdownkan menjadi manusia goa.
Dan sahabatnya itu, Karebeth, menganggap Covid adalah temannya yang akan mengajaknya 'pulang'. Tiga tahun lalu ia sudah ditawari itu, tapi tetap saja yang ia pilih selalu sama : pertempuran.
"Kalau aku pikir-pikir, corona itu seakan mewujudkan rasa sakitmu selama ini di 'goa' itu," kata Beth dari balik speaker handphone. Goa yang dimaksud adalah tempat pertempuran Jon selama kurang lebih 10 tahun ini.
"Maksudmu gimana?" tanya Jon.
"Coba lu baca berita," kata Beth. Si Jon memang tak mengikuti kabar corona. Energinya ia arahkan ke 'wilayah' lain yang memang 10 tahun ini ia tunggu-tunggu Tuhan berikan. "Sekarang suami istri saja mikir dua kali kalau mau hubungan, karena takut saling bertukar virus. Ini kan pas banget denganmu, yang puasa dari awal nikah buat nggak 'begituan' terlalu sering sama istri, karena memang jauh. Social distance, ya kan? Kemudian jadi fisik distance,"
Jon mendengarkan.
"Terus tentang pekerjaan, dengan covid-19, orang-orang seakan dipaksa 'nganggur' meski mereka tak dipecat dari pekerjaannya. Kau kan begitu, kerja, tapi gaji nggak jelas," lanjut Beth.
Jon cuma nyengir.
"Nggak tanggung tanggung, kau jewer juga pemerintah, dari pusat sampai daerah dan lokal," nyerocos Beth sembrono. "Karena memang mereka tak peduli dengan tanggungjawab pendidikan seperti yang kau pegang, dan mungkin ribuan kasus di berbagai wilayah. Tapi, kasusmu paling unik,"
"Sholat jumat ditiadakan, protesmu dan banyak orang sepertimu tentang khotbah jumat terkabul," lanjut Beth. "UN yang kau memang tak bisa protes karena di sekolahmu itu yang sebagiannya adalah anak-anak ABK, kini lenyap,"
"Sekarang pertanyaannya," kata Beth lagi. "Are u will go with them, if its finish their job, Jon?"
Si Jon tertawa.
Sejak ramainya covid-19 itu, Jon tak begitu mengikuti kabar tentang itu. Baginya, jangankan 'menewaskan' dirinya yang ringkih dan lemah itu, bahkan alam semesta, jika Tuhan mau Dia dengan sangat mudahnya untuk menghancurkan itu. Sepuluh tahun ini hidupnya seperti orang mengandung, wahnan alaa wahnin, ditambah lagi dan lagi beban hidupnya. Tekanannya berkurang, katanya, meski berat bebannya masih sama. Tak perlu diceritakan lagi, dalam kisah Jon Quixote di blog ini, dapat dilacak ruwetnya masalah yang ia hadapi. Dari mulai diri yang miskin dan sakit-sakitan, keluarga, sampai medan tempur yang entah sampai kapan akan mulai berakhir, dan hijrah.
Tentu saja ia tak menganggap kedatangan makhluk Allah bernama Covid-19 itu hanya sebagai berkah. Atau sebenarnya ia sudah tak punya definisi lagi untuk semua fenomena hidup yang berubah-ubah. Yang dipikirkannya selalu sama : hidupku sudah berat, untuk apa aku menambah bebannya lagi. Yang datang silakan datang, yang pergi tetap akan pergi. Tak ada satu kekuatanpun yang mampu menghalangi, ketika Tuhan sudah mengingini : tentu saja kecuali Dia sendiri.
Simbahnya berpesan untuk menyelesaikan sholat khusyuk dan puasanya sampai beberapa bulan lagi. Dan dia pun mantap. Setidaknya 10 tahun ini ia sudah berikhtiar itu. Jika pun seumur hidup, ah, 10 tahun atau seumur hidup apa bedanya? Nasi tetap disebut nasi dalam konsepnya, sekalipun terbawa ke masa yang jauh di depan sana. Juga tentang 'mata uang' ashabul kahfi yang sudah tak laku lagi di masyarakat. Sedang si Jon, bukan cuma 'uang' (materi) saja yang memang tak dianggap ada di masyarakat. All of him, dia kepala sekolah, tapi tak menginginkan penghormatan plus tak masalah merumat masyarakat yang terbuang. Dia menikah, tapi 'tak laku' dalam berrumah tangga. Dia bekerja tapi 'tak laku' dalam imbalan. Dia berilmu dan berpengalaman dalam pendidikan, tapi 'tak laku' di sekolah-sekolah mana pun ia datang. The caveman, manusia goa. Terasing, tak laku, kesepian, memikul bebatuan di atas punggungnya, semacam Sishypus. Manusia yang dilockdownkan menjadi manusia goa.
Dan sahabatnya itu, Karebeth, menganggap Covid adalah temannya yang akan mengajaknya 'pulang'. Tiga tahun lalu ia sudah ditawari itu, tapi tetap saja yang ia pilih selalu sama : pertempuran.