Kita seharusnya memiliki titik tuju, yang bahkan sebelum kita memulai hari, kita sudah mendapatkannya. Lalu dunia dan kehidupan ini, tak ada gairah lagi untuk memilikinya. Hidup kita sakti, tak tergoda rayu-godaan receh yang diperebutkan manusia-manusia rendahan._Jon Q_
"Aku dengar dari kakak perempuanmu, 'mereka' akan membuat yayasan tandingan ya?" tanya Beth sore itu mampir ke rumah Jon. Paman Jon dan orang-orang yang dari dulu mengintimidasi perjuangan pendidikan-sosialnya mulai menabuh genderang perangnya lagi. Sesuai dengan prediksinya, pertempuran itu akan dimulai lagi. "Kau tak lelah dengan semua ini, Jon?"
Yang ditanya cuma tersenyum, sembari meminum kopi yang ia buat sendiri.
"Kau tak khawatir, pergerakan mereka akan membuat perjuanganmu itu rusak, bahkan hancur?" tanya Beth lagi.
Dia masih diam.
"Ingat Jon, kebaikan yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh keburukan yang teroganisir," tambah Beth.
"Siapa bilang?" kali ini Jon membalas.
"Ya kan, secara logis dan kenyataan begitu,"
"Mungkin benar," kata Jon lagi. "Mungkin juga salah,"
Kali ini Beth yang diam kesal. Diambilnya gelas kopi di depannya, meminum kopi buatan sahabat karibnya itu.
"Masa Hudaibiyah hampir usai," kata Jon. "Tapi, jika dulu aku sangat Pe-De dengan ilmu-ku, kini aku lebih Pe-De, justru bukan karena itu,"
"Yang jelas coba ngomongnya," Beth belum paham.
"Apa yang mereka lakukan justru akan semakin membuat mereka malu sendiri, untuk kesekian kalinya," Jon mulai menjelaskan. "Jika mereka sampai membuat itu, apalagi dengan duplikat aset yang sebenarnya telah dikelola oleh pihak lain, atau bahkan - ini yang paling parah, mereka sampai dapat izin kemenkumham dengan aset tersebut, itu akan menjadi senjata makan tuan yang sangat fatal akibatnya,"
"Maksudmu... Ah, gila. Nggak, nggak, nggak mungkin sampai sejauh itu," Beth seakan mampu menghitung kemungkinannya. "F*ck! Kau melempar dadu yang sebenarnya itu adalah bom Jon, four years ago. Bangs*t kau, Jon, Haha, gila!"
"Ya, jika itu sampai memiliki nomor SK kemenkumham dengan aset yang justru sudah ber-akta kemenkumham milik pihak lain, dan ini tercium media," Jon sengaja menjeda ucapannya. Kopinya ia minum lagi.
"Boom!!!" Beth menimpali.
"Ya," Jon menghembuskan nafas panjang. "Tapi... Kau tahu apa yang aku pikirkan selain itu?"
"Tentu saja nggak tahu,"
"Aku berdoa justru agar mereka tak sampai melakukan itu," kata Jon.
"Lho? What the f*ck! Ini kesempatan buat menghantam penindasan mereka, Jon?!" Beth membela.
"Nggak Beth, bukan begitu," jawab Jon. "Kita tidak belajar untuk balas menjatuhkan seseorang sekalipun mereka yang mendekati jurang mereka sendiri. Nabi kita tak akan senang melihat kita membiarkan itu,"
"Oh," seakan Beth menyadarinya.
"Lagipula, memasuki rajab ini, aku diberikan pemahaman baru lagi,"
"Bagi Jon," jawab Beth banter.
"Aku baru sadar, selama 10 tahun lebih ini, perjuangan ini bukanlah milikku. Aku hanyalah pelayan-Nya," Jon mejelaskan. "Jadi, rekayasa yang sedang mereka rencanakan itu tak akan berhadapan denganku lagi. Mereka yang ingkar akan menjadi musuhnya Allah, dan pelayan-pelayan-Nya hanya bertugas untuk 'membersihkan' bekas-bekas pertempuran itu,"
"Anj*ng," lirih Beth. "Ha-ha, kau, kau langsung melemparkan kartu as itu Jon? Tipudaya yang mereka rencanakan langsung kau adukan pada Raja-mu itu?" yang dimaksud adalah Tuhan, Allah.
"Iya," kata Jon. "Lagi pula, bukan As satu-satunya,"
"There are more?" Beth ragu cuma itu pemahaman baru yang ia dapatkan
"Pertanyaannya kini berganti, bukan lagi, 'Tuhan, apa yang harus aku lakukan', atau, 'Akan kemana aku harus berjalan (ikhtiar pertolongan)',"
"Melainkan?" Beth makin kepo.
"Tapi, 'Tuan Raja, berkenankah Engkau..." dalam setiap apa yang aku butuhkan,"
Kali ini, Beth yang menghembuskan nafas panjang.
"Seringkali, saat aku memikirkanmu, aku bertanya apa kau tak lelah dengan semua ini? Semua keterbatasan, dan beban yang kau pikul itu?" kata Beth.
"Hhhh..." Jon menghela nafas. "Lelah itu konsekuensi untuk mereka yang melakukan perjuangan tanpa perhitungan, dan bersandar pada tempat yang salah,"
"Apa kau benar-benar tak memiliki rencana untuk membalas itu?"
"He-he, nggak ada,"
"Kau benar-benar menyerahkan pada Raja kita saja?"
"Iya,"
"How if, apa yang kau pikirkan atau yakini itu salah, dan perjuanganmu ini lenyap?"
"Maka itulah yang terbaik dari-Nya,"
"Mak-, maksudku, kau benar-benar tak melakukan apa-apa dengan yang dilakukan pamanmu itu?"
"Aku... Seperti sehari-hari, berangkat, mendidik, memimpin guru-guru dan siswa, dan memikirkan apa yang bisa aku lakukan dengan fadilah atau rahmat yang sudah Allah berikan padaku, bukan untuk melawan mereka, tapi untuk kesejahteraan para guru dan siswaku,"
"Just it?"
"Yap," kata Jon. "Mengapa aku harus capek-capek ikut campur urusan-Nya? Tugasku sudah berat. Biar itu menjadi urusan Dia. Lagipula Beth, kita seharusnya memiliki titik tuju, yang bahkan sebelum kita memulai hari, kita sudah mendapatkannya. Lalu dunia dan kehidupan ini, tak ada gairah lagi untuk memilikinya. Hidup kita sakti, tak tergoda rayu-godaan receh yang diperebutkan manusia-manusia rendahan. Termasuk bertempur dengan mereka yang bukan levelnya dengan kita,"
"Dua kali, kau bilang itu, Jon,"
"Aku dengar dari kakak perempuanmu, 'mereka' akan membuat yayasan tandingan ya?" tanya Beth sore itu mampir ke rumah Jon. Paman Jon dan orang-orang yang dari dulu mengintimidasi perjuangan pendidikan-sosialnya mulai menabuh genderang perangnya lagi. Sesuai dengan prediksinya, pertempuran itu akan dimulai lagi. "Kau tak lelah dengan semua ini, Jon?"
Yang ditanya cuma tersenyum, sembari meminum kopi yang ia buat sendiri.
"Kau tak khawatir, pergerakan mereka akan membuat perjuanganmu itu rusak, bahkan hancur?" tanya Beth lagi.
Dia masih diam.
"Ingat Jon, kebaikan yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh keburukan yang teroganisir," tambah Beth.
"Siapa bilang?" kali ini Jon membalas.
"Ya kan, secara logis dan kenyataan begitu,"
"Mungkin benar," kata Jon lagi. "Mungkin juga salah,"
Kali ini Beth yang diam kesal. Diambilnya gelas kopi di depannya, meminum kopi buatan sahabat karibnya itu.
"Masa Hudaibiyah hampir usai," kata Jon. "Tapi, jika dulu aku sangat Pe-De dengan ilmu-ku, kini aku lebih Pe-De, justru bukan karena itu,"
"Yang jelas coba ngomongnya," Beth belum paham.
"Apa yang mereka lakukan justru akan semakin membuat mereka malu sendiri, untuk kesekian kalinya," Jon mulai menjelaskan. "Jika mereka sampai membuat itu, apalagi dengan duplikat aset yang sebenarnya telah dikelola oleh pihak lain, atau bahkan - ini yang paling parah, mereka sampai dapat izin kemenkumham dengan aset tersebut, itu akan menjadi senjata makan tuan yang sangat fatal akibatnya,"
"Maksudmu... Ah, gila. Nggak, nggak, nggak mungkin sampai sejauh itu," Beth seakan mampu menghitung kemungkinannya. "F*ck! Kau melempar dadu yang sebenarnya itu adalah bom Jon, four years ago. Bangs*t kau, Jon, Haha, gila!"
"Ya, jika itu sampai memiliki nomor SK kemenkumham dengan aset yang justru sudah ber-akta kemenkumham milik pihak lain, dan ini tercium media," Jon sengaja menjeda ucapannya. Kopinya ia minum lagi.
"Boom!!!" Beth menimpali.
"Ya," Jon menghembuskan nafas panjang. "Tapi... Kau tahu apa yang aku pikirkan selain itu?"
"Tentu saja nggak tahu,"
"Aku berdoa justru agar mereka tak sampai melakukan itu," kata Jon.
"Lho? What the f*ck! Ini kesempatan buat menghantam penindasan mereka, Jon?!" Beth membela.
"Nggak Beth, bukan begitu," jawab Jon. "Kita tidak belajar untuk balas menjatuhkan seseorang sekalipun mereka yang mendekati jurang mereka sendiri. Nabi kita tak akan senang melihat kita membiarkan itu,"
"Oh," seakan Beth menyadarinya.
"Lagipula, memasuki rajab ini, aku diberikan pemahaman baru lagi,"
"Bagi Jon," jawab Beth banter.
"Aku baru sadar, selama 10 tahun lebih ini, perjuangan ini bukanlah milikku. Aku hanyalah pelayan-Nya," Jon mejelaskan. "Jadi, rekayasa yang sedang mereka rencanakan itu tak akan berhadapan denganku lagi. Mereka yang ingkar akan menjadi musuhnya Allah, dan pelayan-pelayan-Nya hanya bertugas untuk 'membersihkan' bekas-bekas pertempuran itu,"
"Anj*ng," lirih Beth. "Ha-ha, kau, kau langsung melemparkan kartu as itu Jon? Tipudaya yang mereka rencanakan langsung kau adukan pada Raja-mu itu?" yang dimaksud adalah Tuhan, Allah.
"Iya," kata Jon. "Lagi pula, bukan As satu-satunya,"
"There are more?" Beth ragu cuma itu pemahaman baru yang ia dapatkan
"Pertanyaannya kini berganti, bukan lagi, 'Tuhan, apa yang harus aku lakukan', atau, 'Akan kemana aku harus berjalan (ikhtiar pertolongan)',"
"Melainkan?" Beth makin kepo.
"Tapi, 'Tuan Raja, berkenankah Engkau..." dalam setiap apa yang aku butuhkan,"
Kali ini, Beth yang menghembuskan nafas panjang.
"Seringkali, saat aku memikirkanmu, aku bertanya apa kau tak lelah dengan semua ini? Semua keterbatasan, dan beban yang kau pikul itu?" kata Beth.
"Hhhh..." Jon menghela nafas. "Lelah itu konsekuensi untuk mereka yang melakukan perjuangan tanpa perhitungan, dan bersandar pada tempat yang salah,"
"Apa kau benar-benar tak memiliki rencana untuk membalas itu?"
"He-he, nggak ada,"
"Kau benar-benar menyerahkan pada Raja kita saja?"
"Iya,"
"How if, apa yang kau pikirkan atau yakini itu salah, dan perjuanganmu ini lenyap?"
"Maka itulah yang terbaik dari-Nya,"
"Mak-, maksudku, kau benar-benar tak melakukan apa-apa dengan yang dilakukan pamanmu itu?"
"Aku... Seperti sehari-hari, berangkat, mendidik, memimpin guru-guru dan siswa, dan memikirkan apa yang bisa aku lakukan dengan fadilah atau rahmat yang sudah Allah berikan padaku, bukan untuk melawan mereka, tapi untuk kesejahteraan para guru dan siswaku,"
"Just it?"
"Yap," kata Jon. "Mengapa aku harus capek-capek ikut campur urusan-Nya? Tugasku sudah berat. Biar itu menjadi urusan Dia. Lagipula Beth, kita seharusnya memiliki titik tuju, yang bahkan sebelum kita memulai hari, kita sudah mendapatkannya. Lalu dunia dan kehidupan ini, tak ada gairah lagi untuk memilikinya. Hidup kita sakti, tak tergoda rayu-godaan receh yang diperebutkan manusia-manusia rendahan. Termasuk bertempur dengan mereka yang bukan levelnya dengan kita,"
"Dua kali, kau bilang itu, Jon,"