Bernafaslah dengan rasa gembira.
Tidak ada yang dirahasiakan Allah pada manusia. Dia sangat nyata, bahkan menjelaskan Diri-Nya, thobaqon an thobaq, tingkat demi tingkat. Manusia terhijabi oleh pikirannya sendiri. Zaman berganti, dan langit-langit hijab makin tebal dan pekat. Maka bersyukurlah mereka yang telah sampai pada ayat-Nya : wa alama adamal asma-a kullaha. Mereka yang telah keluar dari akal pikirannya sendiri, lalu menyandarkan semua pengetahuannya dari 'alama', pengajaran Tuhan. Akal pikiran ibarat samudera, dan jiwa manusia adalah ikannya. Mereka yang menyandarkan hidup sebatas akalnya saja, tak akan pernah diperjalankan menuju wilayah di atas permukaan samudera.
Takdir manusia telah tertulis, selesai, sempurna dengan semua pilihan-pilihan yang mungkin akal pikirannya mampu buat. Hari ini, kemarin, dan masa yang akan datang, semua sudah tertulis. Engkau akan jadi apa, akan melakukan apa, berakhir ke surga atau neraka atau tidak keduanya, sudah ada dalam kitab yang jelas : fii kitabim min qobli an nabro-aha. Engkau akan tertakdir dengan siapa, mantanmu berapa dan akan nambah berapa lagi, dengan matriks peluang (kemungkinan-kemungkinan) yang bahkan akalmu tak mampu menyangka itu - semua itu, telah ada pilihan-pilihan jalannya masing-masing. Kita sedang berjalan di jalur takdir yang sudah selesai dalam ruang di luar dimensi waktu.
Hari ini, manusia di muka bumi diuji dengan Corona. Makhluk macam apapun itu, dalam poin pertama ini, akan saya kupas dari sudut pandang efek terhadap pemahaman manusia pada takdir hidupnya sendiri. Tidak ada ujian yang mampu berpengaruh sedalam ujian corona ini : zaman ini. Hanya karena makhluk yang sangat amat kecil, keimanan kita terancam ke titik kebinasaan. Orang-orang membenturkan ketakutannya antara wabah itu dengan Tuhan, tentu, itu dua hal yang tak bisa disebandingkan. Di luar rasa takut itu, para ulul albab mendapat pelajaran : hikmah. Mengapa manusia harus baru sadar, bahwa kematian mengincar mereka dari arah yang tak mereka sadari lewat corona? Dengan atau tanpa itu, bukankah ajal akan datang meski manusia pergi ke Mars, atau bahkan telah disempurnakan struktur DNA-nya lewat proyek Genome?
Lalu setan, yuwaswisu, menghembuskan kecemasan, mengancam kejernihan akal, kemudian kemanapun kita pergi, duduk-duduk, yang kita ceritakan adalah keluhan, sumpek hati, kepedihan, seakan rahmat sehat dan waktu luang untuk berbincang itu bukanlah rejeki dari Tuhan. Bernafaslah dengan kegembiraan, karena dalam nafasmu, jalan takdir terbentuk ke depan. Itu semacam butterfly effect (saya pernah mengkhayalkannya di tulisan ini dan ini). Satu sebab kecil di satu kordinat, berakibat besar di kordinat lain yang secara fisika sangat jauh jaraknya. Kita terhubung dengan semesta ini, dan sang fisikawan, belajar dari para ilmuwan Islam klasik, terilhami : tat twam asi. Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, Aku adalah Engkau dalam wujud yang berbeda. Dan dunia, zaman ke zaman, membuat hijab pikiran semakin tebal. Kita kehilangan pengajaran Tuhan yang bahkan Dia bekali sebelum kita dilahirkan : alastu bi robbikum, qolu bala syahidna.
Saya kisahkan Nabi Idris dan Ilyas dari Ibnu 'Arabi - yang katanya, dari rasulullah.
Hanya Einstein, manusia yang cukup gila untuk merumuskan Lauh Al Mahfudz (Lauhul Mahfudz/Lembaran yang terjaga) di atas persamaan fisika. Ketika Nabi Idris mengunjungi Neraka dan Surga, Idris memasuki wilayah yang oleh Einstein dirumuskannya dalam persamaan kuantum. Idris ke neraka dan surga yang sudah dihuni oleh manusia-manusia yang (bahkan) saat ini masih hidup di muka bumi.
Dari sini akan muncul pertanyaan, "Lho, tapi kan kita belum pasti masuk surga atau neraka? Bukankah kita semua disini masih bisa berubah? Bagaimana jika ternyata kita rajin ibadah, taat beragama, jadi orang baik? Apakah mungkin ternyata kita disana masuk neraka?"
Titik pentingnya adalah, pilihan. Dalam persamaan kuantum itu, wilayah yang Idris kunjungi itu, dua kemungkinan itu (kita masuk surga atau neraka) berjalan dalam waktu yang sama, di 'dimensi' (perhitungan) yang berbeda. Subhanallah. Dahsyat benar semesta yang Dia ciptakan.
Idris diajak jalan-jalan 'ke atas' (transendensi Allah), sampai melampaui dimensi waktu, kondisi 'sebelum' dimensi waktu diciptakan. Saya kasih tanda kutip di kata 'sebelum', karena sebelum dimensi waktu ada, tidak ada kata sebelum dan setelah. Sedangkan Ilyas, diajak Jibril jalan-jalan 'ke dalam' (imanensi Allah). Dia masuk ke dalam sel, kemudian partikel, kemudian dimensi gaib paling permukaan - jin, lalu ke dimensi setan. 'Ruang kendali' setan ketika menggoda manusia dan jin. Kemudian seperti Idris, ia ke dimensi yang sama, yaitu wilayah kegaiban yang tinggi, yang oleh Einstein dirumuskan dengan kecepatan cahaya dikuadratkan. Mempelajari corona, akan jelas jika kita menggunakan jalan yang pernah dilewati Nabi Ilyas : dan tentunya rasulullah sholallah alaihi wassalam.
Ajaran-ajaran yang luhur ini kian terlupakan. Manusia semakin 'membatu', 'merobot', semakin sulit bahkan hanya untuk berprasangkan baik, bahwa Allah pasti selalu memberikan yang terbaik bagi manusia, atau bahkan apapun di semesta ini. Kita mengawali pagi dengan sumpek hati, sedang sang nabi mengajarkan doa : alhamdulillahiladzi ahyana ba'dama amatana... Agar kita mengawali hari dengan rasa syukur, kegembiraan, mengiringi nafas di awal-awal subuh, untuk takdir yang lebih baik di siang hari. Kita berdoa yang baik-baik, berharap yang baik-baik, tapi pikiran kita bertindak sebaliknya. Lalu keburukan terjadi, kemudian kita meragukan Allah yang katanya 'ud'uni astajib lakum' : berdoalah pada-Ku pasti Ku kabulkan. Dan ketika kita rewel, doa kita terkabul namun membuat hidup kita makin repot, stress, terbebani, kita protes lagi : katanya 'la yukalifullah nafsan illa wus-aha'. Kenapa kita stress, gila, bahkan bunuh diri (na'udzubillah) jika Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya? Kita yang minta - memaksa, tapi setelah diberi, kita masih menyesal dan menyalahkan-Nya. Takdir yang benar-benar buruk. Setan menggoda kita agar rewel, lalu menunggu dengan ragu, dan setelah dikabulkan, setan menggoda kita dengan rasa berat terhadap keterwujudan doa-doa kita. Bagaimana kita akan menjalani 'ihdinashirothol mustaqim', jika sebatas nafas (yang berefek pada takdir) saja kita masih makmum pada setan?
Tidak ada yang dirahasiakan Allah pada manusia. Dia sangat nyata, bahkan menjelaskan Diri-Nya, thobaqon an thobaq, tingkat demi tingkat. Manusia terhijabi oleh pikirannya sendiri. Zaman berganti, dan langit-langit hijab makin tebal dan pekat. Maka bersyukurlah mereka yang telah sampai pada ayat-Nya : wa alama adamal asma-a kullaha. Mereka yang telah keluar dari akal pikirannya sendiri, lalu menyandarkan semua pengetahuannya dari 'alama', pengajaran Tuhan. Akal pikiran ibarat samudera, dan jiwa manusia adalah ikannya. Mereka yang menyandarkan hidup sebatas akalnya saja, tak akan pernah diperjalankan menuju wilayah di atas permukaan samudera.
Takdir manusia telah tertulis, selesai, sempurna dengan semua pilihan-pilihan yang mungkin akal pikirannya mampu buat. Hari ini, kemarin, dan masa yang akan datang, semua sudah tertulis. Engkau akan jadi apa, akan melakukan apa, berakhir ke surga atau neraka atau tidak keduanya, sudah ada dalam kitab yang jelas : fii kitabim min qobli an nabro-aha. Engkau akan tertakdir dengan siapa, mantanmu berapa dan akan nambah berapa lagi, dengan matriks peluang (kemungkinan-kemungkinan) yang bahkan akalmu tak mampu menyangka itu - semua itu, telah ada pilihan-pilihan jalannya masing-masing. Kita sedang berjalan di jalur takdir yang sudah selesai dalam ruang di luar dimensi waktu.
Hari ini, manusia di muka bumi diuji dengan Corona. Makhluk macam apapun itu, dalam poin pertama ini, akan saya kupas dari sudut pandang efek terhadap pemahaman manusia pada takdir hidupnya sendiri. Tidak ada ujian yang mampu berpengaruh sedalam ujian corona ini : zaman ini. Hanya karena makhluk yang sangat amat kecil, keimanan kita terancam ke titik kebinasaan. Orang-orang membenturkan ketakutannya antara wabah itu dengan Tuhan, tentu, itu dua hal yang tak bisa disebandingkan. Di luar rasa takut itu, para ulul albab mendapat pelajaran : hikmah. Mengapa manusia harus baru sadar, bahwa kematian mengincar mereka dari arah yang tak mereka sadari lewat corona? Dengan atau tanpa itu, bukankah ajal akan datang meski manusia pergi ke Mars, atau bahkan telah disempurnakan struktur DNA-nya lewat proyek Genome?
Lalu setan, yuwaswisu, menghembuskan kecemasan, mengancam kejernihan akal, kemudian kemanapun kita pergi, duduk-duduk, yang kita ceritakan adalah keluhan, sumpek hati, kepedihan, seakan rahmat sehat dan waktu luang untuk berbincang itu bukanlah rejeki dari Tuhan. Bernafaslah dengan kegembiraan, karena dalam nafasmu, jalan takdir terbentuk ke depan. Itu semacam butterfly effect (saya pernah mengkhayalkannya di tulisan ini dan ini). Satu sebab kecil di satu kordinat, berakibat besar di kordinat lain yang secara fisika sangat jauh jaraknya. Kita terhubung dengan semesta ini, dan sang fisikawan, belajar dari para ilmuwan Islam klasik, terilhami : tat twam asi. Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, Aku adalah Engkau dalam wujud yang berbeda. Dan dunia, zaman ke zaman, membuat hijab pikiran semakin tebal. Kita kehilangan pengajaran Tuhan yang bahkan Dia bekali sebelum kita dilahirkan : alastu bi robbikum, qolu bala syahidna.
Saya kisahkan Nabi Idris dan Ilyas dari Ibnu 'Arabi - yang katanya, dari rasulullah.
Hanya Einstein, manusia yang cukup gila untuk merumuskan Lauh Al Mahfudz (Lauhul Mahfudz/Lembaran yang terjaga) di atas persamaan fisika. Ketika Nabi Idris mengunjungi Neraka dan Surga, Idris memasuki wilayah yang oleh Einstein dirumuskannya dalam persamaan kuantum. Idris ke neraka dan surga yang sudah dihuni oleh manusia-manusia yang (bahkan) saat ini masih hidup di muka bumi.
Dari sini akan muncul pertanyaan, "Lho, tapi kan kita belum pasti masuk surga atau neraka? Bukankah kita semua disini masih bisa berubah? Bagaimana jika ternyata kita rajin ibadah, taat beragama, jadi orang baik? Apakah mungkin ternyata kita disana masuk neraka?"
Titik pentingnya adalah, pilihan. Dalam persamaan kuantum itu, wilayah yang Idris kunjungi itu, dua kemungkinan itu (kita masuk surga atau neraka) berjalan dalam waktu yang sama, di 'dimensi' (perhitungan) yang berbeda. Subhanallah. Dahsyat benar semesta yang Dia ciptakan.
Idris diajak jalan-jalan 'ke atas' (transendensi Allah), sampai melampaui dimensi waktu, kondisi 'sebelum' dimensi waktu diciptakan. Saya kasih tanda kutip di kata 'sebelum', karena sebelum dimensi waktu ada, tidak ada kata sebelum dan setelah. Sedangkan Ilyas, diajak Jibril jalan-jalan 'ke dalam' (imanensi Allah). Dia masuk ke dalam sel, kemudian partikel, kemudian dimensi gaib paling permukaan - jin, lalu ke dimensi setan. 'Ruang kendali' setan ketika menggoda manusia dan jin. Kemudian seperti Idris, ia ke dimensi yang sama, yaitu wilayah kegaiban yang tinggi, yang oleh Einstein dirumuskan dengan kecepatan cahaya dikuadratkan. Mempelajari corona, akan jelas jika kita menggunakan jalan yang pernah dilewati Nabi Ilyas : dan tentunya rasulullah sholallah alaihi wassalam.
Ajaran-ajaran yang luhur ini kian terlupakan. Manusia semakin 'membatu', 'merobot', semakin sulit bahkan hanya untuk berprasangkan baik, bahwa Allah pasti selalu memberikan yang terbaik bagi manusia, atau bahkan apapun di semesta ini. Kita mengawali pagi dengan sumpek hati, sedang sang nabi mengajarkan doa : alhamdulillahiladzi ahyana ba'dama amatana... Agar kita mengawali hari dengan rasa syukur, kegembiraan, mengiringi nafas di awal-awal subuh, untuk takdir yang lebih baik di siang hari. Kita berdoa yang baik-baik, berharap yang baik-baik, tapi pikiran kita bertindak sebaliknya. Lalu keburukan terjadi, kemudian kita meragukan Allah yang katanya 'ud'uni astajib lakum' : berdoalah pada-Ku pasti Ku kabulkan. Dan ketika kita rewel, doa kita terkabul namun membuat hidup kita makin repot, stress, terbebani, kita protes lagi : katanya 'la yukalifullah nafsan illa wus-aha'. Kenapa kita stress, gila, bahkan bunuh diri (na'udzubillah) jika Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya? Kita yang minta - memaksa, tapi setelah diberi, kita masih menyesal dan menyalahkan-Nya. Takdir yang benar-benar buruk. Setan menggoda kita agar rewel, lalu menunggu dengan ragu, dan setelah dikabulkan, setan menggoda kita dengan rasa berat terhadap keterwujudan doa-doa kita. Bagaimana kita akan menjalani 'ihdinashirothol mustaqim', jika sebatas nafas (yang berefek pada takdir) saja kita masih makmum pada setan?