Seseorang yang dididik di dalam sumur

Java Tivi
0

Dalam hal ilmu, melangkahlah sejauh yang kau sanggup mencapainya. Dalam hal keinginan, buatlah jarak sejauh yang kau sanggup menciptakannya._Jon Q_



Ia yang mampu mengendalikan semesta dalam dirinya, akan mampu memimpin semesta di luar dirinya. Jika engkau berada di jalan-Nya, ujian apapun yang datang padamu, Dia telah memberimu 'jurus' untuk mengatasinya sebelum ujian itu datang. Sebaliknya, jika kau tak berada di jalan-Nya yang diridoi, kau akan babak belur meski nampak sanggup mengatasi konsekuensi dari keinginan-keinginanmu. La yukalifullah nafsan illa wus-aha. (Ins. Yusuf ibn Ya'kub)


Kisah Nabi Yusuf, adalah contoh penghinaan terhadap derajat keinginan. Masih ingat tulisan 'maqam al arba'ah', kan? Di tulisan-tulisan yang lalu, empat sumber gerak semesta, telah pelan-pelan dibahas. Kali ini, kita akan menelanjangi keinginan untuk kesekian kalinya.


Dalam tafsir Ibn Katsir, Nabi Yusuf berada di dalam sumur selama ±10 tahun (17th lebih kurang). Bisa bayangkan, berada di dalam sumur selama itu? Satu minggu saja mungkin akal sehat kita akan hilang. Saya sendiri, mungkin akan 'kenthir' (gila). Kita kupas pelan-pelan.


Yusuf bercerita pada ayahnya, Ya'kub, tentang kemungkinan kakak-kakaknya yang akan berbuat sesuatu padanya. Sang ayah mengerti, dan juga mengajarkan takwil mimpi pada Yusuf, seperti mukjizat yang diberikan pada kakek-kakeknya. Ibrahim dan Ismail (dalam riwayat quran, dalam riwayat alkitab/injil, Ibrahim-Ishak) berbincang mentakwilkan mimpi penyembelihan. Ini yang kelak jadi ajaran berqurban dalam syariat Nabi Muhammad.


Sang ayah paham. Maka, ketika kakak-kakak Yusuf meminta izin membawa adiknya itu, Ya'kub 'memberi petunjuk' untuk kebohongan yang akan dilakukan mereka : Aku takut dia akan dimakan Serigala.


Yusuf dibully, dipukul, diintimidasi agar masuk ke sumur itu, yang sebelumnya mereka berselisih, mau dibunuh atau dilempar ke sumur. Yusuf berpegangan bibir sumur, namun tangannya dipukul, lalu terjatuhlah ia. Seorang kakak akan melemparkan batu besar, agar memastikan kematian adiknya itu. Namun Yehuda, yang keturunannya sekarang disebut kaum yahudi, melarang itu.


Seorang adik, 'dibunuh' mentalnya, dimatikan harapannya, bahwa ia adalah saudara mereka sendiri. Dibully, dianiaya, dijatuh-rendahkan, lalu hidup belasan tahun di dalam sumur. Ah, saya tak pernah sanggup membayangkan itu.


"Tapi kak, aku ini adik kalian! Aku saudara kandung kalian!"


Tidak ada jawaban selain makian, cacian, dan kemarahan. Lalu, ia pun harus menghapus semua bayangan kenikmatan hidup. Tak bisa bertemu ayah dan ibunya. Tak bisa bermain dengan Benjamin, adiknya dari ibu yang berbeda. Tak bisa tidur berdekatan dengan mereka. Tak bisa makan minum seperti kemarin. Tak mungkin memanjat, karena terlalu dalam. Dan entah hari esok macam apa yang ia akan hadapi di dalam sumur itu. Hidup tak tentu, matipun tak boleh. Karena ia telah diwahyukan, suatu saat ia akan menceritakan ini ketika kakak-kakaknya telah lupa.


Kepedihan macam apa yang ia alami dalam jiwanya. Saudara-saudaranya sendiri membuangnya, sang ayah (jika bukan karena wahyu) tak mengerti ia sudah mati ataukah masih hidup. Sampai kapan ujian itu berakhir. Dan darisanalah pendidikan itu berawal.


Ia dididik di dalam sumur. Dipaksa menjadi yatim piatu bahkan sebelum umur 10 tahun. Bertarung habis-habisan dengan hasrat manusiawinya. Tak bisa menikmati apa yang seharusnya dapat dinikmati seorang anak di usia-usia itu. Memenuhi takdir seorang nabi, bukan menghilangkan keinginan, melainkan benar-benar menundukan itu, seperti seekor kuda yang terikat tali kekangnya. Lalu akalnya pun diasah total. Karena ia tak akan berhenti bertanya, menggugat, saling melawan dirinya sendiri, antara yang menyemangati dan yang putus asa. Ia diajari mengelola semesta di dalam dirinya. Memimpin segala sesuatu yang berbicara di dalam dirinya. Menguasai apapun dalam dirinya, yang manusia pada umumnya justru membebas-liarkan itu : hasrat manusiawinya.


Ia melangkah, memanjangkan ilmunya sejauh semampu yang ia lakukan. Dan ia berikan jarak pada keinginan dalam dirinya sejauh jarak yang ia mampu melakukannya. Tuhan tak memberi ujian pada manusia tanpa memberi 'jurus' pada kita untuk menghadapinya. Dan mereka yang lulus, seperti Yusuf ketika ia terangkat oleh musafir yang lewat, mereka akan terangkat derajatnya. Baik di akhirat, ataupun di dunia.


Keinginan ibarat angin. Ia akan mengacaukan jiwamu jika kau tak mampu mengendalikannya. Seperti pelaut, angin tidak dalam kekuasaannya, tapi ia dapat mengendalikan layarnya. Dan Yusuf, seseorang yang dididik di dalam sumur, bisa jadi itu kita. Ketika semua orang menjatuhkan kita, meninggalkan kita, menganggap rendah kita, lalu kita dididik dalam kesunyian, dalam kesendirian, tak ada saudara, tak ada kawan, lalu melampaui alasan untuk apa kita diciptakan : maka selamat untukmu. Dunia akan mengangkatmu. Tapi mungkin kau akan dijatuhkan lagi, jika kau lari dari jalan Tuhan.


Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)