13 Januari 2013
Dari catatan di Facebook
Ini kisah si Jon waktu 'silent war' dengan tiga teman genk (katroknya) semasa SMA.
Memasuki kelas tiga, si Jon insaf dari dunia jalanan. Meski dirinya tak 'tersentuh' wanita-wanita jalanan teman nongkrongnya, ia merasa bersalah. Ia akhirnya bertemu dengan seorang guru yg mengajarkannya tentang akhlak dan 'ikhlas' : meski mungkin Jon tak pernah lulus. Gurunya berpesan,"Kenikmatan dunia, hanya sepintas pandang. Fa'ainama tuwalu fatsama wajhulloh. Ke arah manapun kamu menikmati dunia yg sepintas pandang itu, di sanalah 'wajah' Tuhanmu. Bukan melihat apa yg matamu tatap, tapi apa yg kau sadari kemanapun kenikmatan dunia kau pandang,"
Tapi berbeda dengan tiga temannya yg justru menggunakan jampi-jampi berdalih ayat suci, untuk menggaet siswi-siswi. Jon paham, saat manusia dimabukan dunia, peringatan apapun tak akan didengarnya. Akhirnya ia hanya diam, dan mencari habis-habisan buku-buku tentang kejiwaan, neurosains. Ia suka menantang menebak uang koin yg diputar. Ia suka menantang menebak angka 1-9 yg ditulis di balik kertas tebal. Si Jon, berbekal bacaan dan saran gurunya, mampu menebak semua itu. Tapi, giliran temannya, Jon merekayasa otak kanan dan kirinya. Menuliskan 3 angka yg akhirnya ia coret 2, tapi 1 angka yg tersisa ia lupa berapa : rekayasa pikiran. Bahasa neurosains, gelombang otak tak dapat dirasakan 'makhluk' yg membantunya itu.
Syukur, 2 dari 3 temannya sudah 'tersadarkan' dari kebiasaan lama itu. Jon bukannya benci dengan para 'kaum klenik', ia hanya tak suka ayat suci digunakan untuk hal sepele seperti yg dilakukannya. Karena Jon saat SMA kelas tiga itu, menghapal asmaul husna dan yasin, sembari kebut-kebutan motor : kuatnya keinginan menghapal itu di medan yg 'berat'. Untuk apa semua itu? Hanya sebagai ungkapan terima kasih pada Tuhan. Tidak lebih.