Menjelang akhir tahun 2020, bahkan demam virus covid-19 belum nampak mereda. Satu tahun ini, kita lalui dengan lebih banyak menjaga diri dari serangan virus yang kita tak tahu darimana mereka akan menyerang kita. Seperti anak-anak kita yang main petak umpet, musuh bisa datang darimana saja tanpa kita tahu. Kalau dalam agama Islam, itu ada di surat al a'raf 27 : _innahu yarookum huwa wa qobiluhu min haytsu la tarownahum._ Seperti setan yang menggoda Adam, corona bisa menyerang kita dari arah yang kita tak bisa melihat mereka.
Semua agama mengajarkan kesehatan. Yesus atau nabi isa, dulu itu menyembuhkan penyakit kusta/lepra. Seperti corona, kusta juga menular lewat lendir dan bakteri yang menempel pada kulit. Berbeda dengan nabi muhammad yang di satu riwayat melarang kita ke tempat yang terkena wabah penyakit, tapi di riwayat lain mengatakan penyakit menular itu tidak ada. Yesus menyembuhkan kusta tidak dalam posisinya sebagai Tuhan, tetapi sebagai manusia yang menerima kekuatan dari Tuhan. Ini bisa jadi formula, bahwa tidak ada penyakit yang tak taat pada Tuhannya, sekaligus takut pada Tuhannya. Bukankah virus/bakteri juga makhluk Tuhan? Semua yang di langit dan bumi, tunduk pada Tuhan dengan terpaksa atau dengan sukarela.
Di satu riwayat, nabi muhammad melarang kita ke tempat wabah penyakit. Di riwayat lain, beliau mengatakan penyakit menular itu tidak ada. Ini bukan ambiguitas, bukan plin-plan, namun memang kenyataannya begitu. Jika kuda A kena penyakit, lalu menular ke kuda B, menular ke kuda C, pertanyaannya, siapa yang menulari kuda A? Di hadits pertama, nabi muhammad mengajarkan penyempurnaan ikhtiar, sedangkan di hadits kedua, beliau mengajarkan ketundukan total pada Allah. Bahwa tidak ada penyakit menular atau musibah apapun yang bergerak sendiri, melainkan dalam pengetahuan Allah.
Zaman setelah Yesus atau Isa dan Nabi Muhammad, kita kenal Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, Guru-guru Buddha, yang mereka mengajarkan strategi kesehatan dengan cara yang radikal.
Mahatma Gandhi, dia hidup di tengah-tengah negaranya sendiri yang miskin dan tidak sedikit yang sakit juga. Dia sendiri sering sakit-sakitan, entah disiksa penjajah karena nasionalismenya, membela kaum bawah, atau karena puasa yang dia lakukan. Baik hindu atau buddha, memiliki tradisi yoga atau tapabrata, cara untuk menetralkan kondisi dalam tubuh kita. Dan itu efeknya pada kesehatan fisiologis juga psikologis.
Bunda Theresa, jauh-jauh beliau meninggalkan kemewahan hidup keluarganya untuk mengasuh penduduk Calcuta, India, yang penyakitan kusta dengan lingkungan kotornya. Jika kita menjauh dari lingkungan kotor dan orang-orang yang dikarantina covid-19, Bunda Theresa sebaliknya. Beliau menyatu dengan orang-orang berpenyakitan menular.
Sebagai bangsa yang bhineka, yang majemuk, covid-19 adalah momentum untuk memajukan kerukunan antar umat beragama. Tak perlu melihat agamanya apa, dari suku apa, dan sebagainya. Momen ini kita harus gunakan sebagai momen gotong royong, saling menolong, dan menyandarkan balasan pertolongan itu pada Tuhan semata. Inilah saatnya kita gunakan sila ketiga kita, persatuan Indonesia, untuk saling bahu membahu menolong bangsa yang sedang diserang wabah dan darurat ekonomi di awal tahun. Sudah saatnya, kita semakin meresapkan agama ke dalam diri, sedangkan yang kita hadirkan ke permukaan adalah cinta dan kebersamaan yang memajukan, mengubah dunia menjadi lebih baik.
Terakhir, dalam Islam kita diceritakan kisah Dajjal. Fitnah akhir zaman yang kelak akan membawa air tapi nampak seperti api di tangan kiri, dan api tapi nampak seperti air di tangan kanan. Mungkin ini adalah momentum, untuk kita menggunakan standar penilaian hidup di atas salah benar, baik dan buruk. Salah benar dan baik buruk akan sangat bias, jika bersumber dari golongan atau kelompok. Mungkin saatnya kita gunakan standar keadilan, kebermanfaatan, dan pelayanan. Menempatkan sesuatu tepat pada tempatnya, menilai seseorang atau permasalahan tepat dengan ukurannya. Melakukan kebermanfaatan untuk umat manusia, sekalipun itu mengorbankan kesenangan pribadi kita, dan melayani manusia apapun agamanya, apapun derajat ekonominya, apapun suku bangsanya. Demi Indonesia yang lebih baik, demi Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Esai Prolog Kepala Kemenag Kota Tegal dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Selasa, 8 Desember 2020
Ternyata yg bisa ciptakan obat covid 19 itu golongan yg dianggap kafir,apa karena ada yg anggap corona itu tentaranya Allah??
ReplyDeleteMari belajar menggali lebih dalam. Ada term yg menarik dari komentar di atas :
ReplyDelete1. Menciptakan obat
2. Golongan Kafir
3. Tentara Allah
Data di internet dan buku2 medis posmodern, makin menampakan bahwa obat2an akhirnyah juga murni bisnis. Sebagai orang beriman, Tuhan ga mungkin menyiapkan penyakit tanpa obat yg mudah juga utk mengaksesnya buat siapa aja (si kaya / si miskin). Lihat tulisan dg judul "Formula dasar kehidupan manusia".
2. Golongan kafir. Ada dua macam.kekafiran. kafir nikmat (kufur) dan kafir tauhid. Kafir nikmat, bahkan orang2 islam.pun bisa kafir dalam keislamannya. Sebaliknya, bisa jadi mereka yg belum berislam.secara lisan, hati dan infrastruktur akalnya sdh memenuhi syarat disebut orang beriman.
3. Tentara Allah, itu segala sesuatu di semesta ini. Karena tidak ada yg bisa utk benar2 tdk taat pada aturan main-Nya. Tuhan memberikan 2 jalan, kesesatan dan kebenaran. Mereka yg jahat, buruk, pendosa, jg memilih jalan yg telah Allah siapkan. Mereka taat dgn jalan kesesatan yg Allah telah sediakan. Tentu aja, ujung dua jalan itu berbeda kondisi.