Ramadlan (12)
"Yang paling sakit dari pengalaman seekor ulat adalah ketika datang saatnya menjadi kepompong. Seperti ucapan biasanya : Bersihkan dirimu, atau Tuhan akan membersihkannya dengan cara yang kau tak menyukainya,"
Konyol ya?
Berapa kali aku tuliskan tentang kisah para yahudi tahanan Nazi di camp penjara. Satu yang unik cara membantai mereka adalah, dengan memasukan mereka ke dalam parit, dan menembaki dari atasnya. Apa yang unik? Rahib pemimpin yahudi itu, mengajak umatnya bernyanyi dan menari menyambut peluru dari pasukan Hitler itu. Pada mereka kematian bukan suatu hal yang menakutkan, melainkan memang pergantian tempat, hijrah, dan mereka yakin tempat baru itu lebih baik dari dunia ini. Seperti ketika Rumi menjelang ajal. "Mengapa kalian menangis, sedang sebentar lagi aku bertemu dengan pengantinku?" Katanya pada murid-muridnya. "Menarilah!" Ini menjadi dasar filosofis tarekat maulawiyah, dengan ciri khas tarian berputarnya.
Menjelang puasa kemarin, berapa kali pertanyaan kesiapan disampaikan padaku. Entah kesiapan mati atau kesiapan 'bermetamorfosis' dari kondisi yang saat ini. Bagiku sendiri, hidup atau mati, itu bukan urusanku. Menjadi urusanku adalah dalam kondisi apapun, aku ingin selalu melayani-Nya, mengikuti rasulullah apapun konsekuensinya. Beberapa minggu sebelum ramadlan aku tidur di masjid agung kabupaten, bukan nyari wangsit atau apa. Melainkan ikhtiar menyelamatkan subuhku. Sesederhana itu. Meskipun memang, saat subuhku selamat, kemudian pagi bekerja seperti biasanya, pulang kerja menyediakan waktu untuk melayani hamba-hamba-Nya, maka sisi-sis 'diriku' (kemanusiawian) akan makin hilang. Dan jika sisi itu makin hilang, apakah aku masih bisa disebut manusia hidup? Maka hidup dan mati sudah bukan persoalan lagi. Hidup dengan dasar gerak 'kebutuhan' saja (penjelasan lengkap ada di tulisan 'maqamul arba'ah'), orang-orang banyak yang menganggapku aneh. Bagaimana jika sisi ketaatan pada Tuhan dimaksimalkan, dan sisi-sisi yang disebut 'manusia' aku kurangi habis-habisan?
Ibarat ulat yang telah datang perintah bermetamorfosis. Kedatangan perintah itu saja sudah memberatkan, apalagi jika kita sedang asyik-asyiknya dengan dunia saat ini. Apalagi perintah harus 'memasuki' dirinya sendiri. Yang kemarin kulit, sekarang jadi kurungan, jadi penjara, karantina, dan meninggalkan segala sesuatu yang dapat dinikmati ketika masih menjadi ulat. Seperti mati tadi, jika ulat menjadi kepompong dan kelak jadi kupu-kupu, dimanakah 'ulatnya' saat itu? Dan apakah ia masih bisa disebut ulat?
Tegal, Sabtu, 23 Juli 2021