Ramadhan (9)
"Jangan merasa bangga dengan apapun pencapaianmu. Karena dari itu, godaan naik kadarnya, dan bahaya lebih besar akibatnya. Karena mencapai sesuatu itu cenderung lebih mudah daripada mempertahankan itu,"
Memasuki ramadhan ini, seakan aku dikejar 'wangsit' lewat mimpi. Bukan melihat yang aneh-aneh, justru seakan mengiyakan risetku tentang serabut takdir dengan kemungkinan-kemungkinan jika kita memilih takdir yang bukan sekarang ini. Lebih lanjutnya, di mimpi itu aku sadar sedang bermimpi. Seakan menikmati anggapan yang dulu aku buat : mimpi adalah mesin waktu alami. Karena dalam mimpi kita bisa melakukan perjalanan jiwa. Tapi, tentu saja, itu bukan hal yang besar untukku. Mengapa?
Arah godaan setan selanjutnya adalah dari belakang. Yaitu menyerang sisi bodoh diri kita. Aku beri tahu rahasia setan : bahwa mereka pintar melihat sisi lemah diri yang bahkan kita sendiri saja tak menyadarinya. Semacam asisten pribadi yang selalu membangkang, menyesatkan. Bagaimana menggoda dari kebodohan kita itu? Setan akan mengajari kita sesuatu yang berlawanan dengan Allah, merasa mendapat wangsit, mengaku dapat wahyu, ilham, jadi imam mahdi, jadi nabi, bertemu jibril, dan sebagainya. Ciri yang sangat jelas adalah seperti itu. Sulitnya, orang-orang zaman ini merasa dirinya pintar. Menganggap berilmu hanya dengan semedi, atau bertemu satu dua sosok yang dianggapnya malaikat. Itu kan konyol. Berapa ribu malaikat mendatangi kita di ⅓ malam terakhir, yang mengiringi 'turunnya' Allah? Berapa malaikat yang lalu lalang di bumi, di dekat kita, duduk bersama kita saat belajar/mengaji bersama? Dan orang-orang yang digoda dari belakang, menganggap mereka sudah sampai di maqom tertentu, jadi wali afrad, wali quthb, bertemu khidir dan semacamnya. Mereka tak paham, bertemu khidir (kalaupun itu benar) adalah tanda awal menapaki jalan spiritual. Bagaimana yang tertinggi? Setiap saat bisa hadir di jamaah rasulullah sholallahu alaihi wa salam, bersama para kekasih Allah yang lain. Tapi bagaimana memastikan itu benar?
Kebenaran subjektif itu harus diuji. Harus dikonfrontasi dengan lainnya. Ibarat ujian skripsi, harus ditanya, digali, dipresentasikan, diformulasikan, disederhanakan, agar orang lain punya kesempatan untuk menapaki jalan itu juga. Maka benar kata beberapa ulama, kekeramatan (karomah) seseorang itu hanya akan menjadi beban dan tipuan selama ia tidak mengajarkan ilmu pada banyak orang. Ilmu yang mendekatkan diri pada Allah, mencerahkan, mencerdaskan, mengurangi sisi gelap kebodohan yang menjadi jalan arah belakang untuk menggoda kita.
Hadiah Allah jika kita mampu lepas diuji dari arah belakang adalah rasa kejujuran dan ketulusan dalam beribadah. Kita jadi tulus, jujur, bersih, bahwa ibadah kita, hidup dan mati kita, itu semata-mata karena ketundukan kita sebagai hamba. Tidak menginginkan 'label-label' dunia (kesaktian, pengasihan, kekayaan, jabatan, dsb). Tidak tergiur dengan godaan-godaan musyahadah, yang nanti akan kita bahas di tulisan selanjutnya : godaan setan dari arah kanan. Seorang manusia yang sudah jujur dan tulus hidupnya, dengan apa ia bisa digoda? Mudah-mudahan kita selalu ditolong oleh-Nya, agar mampu melawan godaan itu.
Tegal, Rabu, 21 April 2021