Ramadlan (19)
"Jika manusia menyadari dan 'takut' dengan apa saja yang bisa terjadi pada dirinya, maka setan nganggur. Nafsu mengering (seperti tujuan puasa), dan segala kemaksiatan di dunia ini sepi. Lalu sifat maghfiroh (ampunan Allah) jadi terasa tak berguna,"
Bagaimana tidak rendah diri, sehari-hari ia bermain game online. Pertempuran 5 vs 5, yang bahkan dalam game saja dia 'tirakat'. Bagaimana biar kalah menang terasa biasa, bagaimana mengelola emosi kalau dapat tim bodoh, masuk permainan tapi AFK (offline) di tengah pertempuran, atau persoalan sinyal yang kadang rusak justru ketika perang sedang seru-serunya. Banyak waktu yang seharusnya ia gunakan untuk hal-hal sosial, justru ia gunakan untuk menikmati hidup secara 'egois'. Dengan alasan, menikmati hidup tanpa mengurangi ketaatan itu baik. Menikmati hidup di luar kebutuhan sosial yang belum begitu memerlukan dirinya itu baik. Karena memang sebelum puasa sampai sehari sebelum puasa si Jon benar-benar kebawa angin. Ke timur ke barat capek-capek tanpa pamrih apa-apa selain menuruti perintah Tuhan untuk selalu menolong siapa saja yang butuh selama kita mampu. Dia, di dalam kamar pun, sedang bermain game online, inspirasi dan ayat quran yang masuk ke dalam jiwanya tak kenal rehat Bagaimana mungkin seseorang yang berdiam diri di dalam rumah mendapatkan sesuatu yang seharusnya didapatkan mereka yang bergelut dengan repotnya takdir di luar rumah? Jika bukan kesesatan, apakah itu hidayah?
"Sebenarnya, manusia memiliki alat ukur kehidupan masing-masing." Kata Jon pada sahabat-sahabat mudanya. "Selama alat ukut itu tidak rusak, ia mampu menilai segala sesuatu. Alat ukur itu adalah 'fu'ad', kondisi hati setelah 'qolbi',"
Qolbi, yang diartikan kita sebagai hati, bermakna berubah-ubah, dinamis, 'kanginan'. Sedangkan fu'ad, qul huwaladzi ansya-akum wa ja'alalakumu sam'a wal abshoru wal af'idah, yang Allah berikan pada kita itu pendengaran, penglihatan, dan 'fu'ad', tapi karena kita tak bisa menjaganya, fuad menjadi qulub. Yang tadinya teguh, menjadi bolak-balik, plin-plan, berubah-ubah.
Siang itu si Jon tidur siang di teras mushola bersama sahabatnya. Sembari tidur, ia senyum-senyum, meyakinkan orang kalau dia memang 'kenthir'. Saat terbangun (ia hanya tidur sebentar), Beth, sahabatnya tanya.
"Ente lagi tidur aja kambuh yah gilanya," Beth bercanda.
"Lah napa emang?" Tanya Jon.
"Tadi ente senyum-senyum pas tidur. Dapat wangsit baru apa mimpi jorok ente?"
Hahaha.
"Aimu. Puasa-puasa, bokep bae pikirannya," kata Jon. "Tadi aku diceritain lucunya orang-orang fasik pas ditanya di yaumul hisab nanti,"
"Wah, gimana tuh?" Beth menyilahkan kakinya mendekat.
"Tadi dikasih tahu, tentang orang fasik yang selalu menyangkal saat ditanya dosa-dosanya," Jon mulai berceloteh. "Dia pikir, dari miliaran orang yang berkumpul disana, panitia persidangan pasti kesulitan mencari saksi-saksi dari perbuatan dosanya. Aku geli lihatnya, kok ada orang sebodoh itu. Allah kan maha kuasa, aku pikir begitu,"
"Ternyata, bukan cuma orang-orang, kita tahu, benda-benda, tanah, air, angin, tumbuhan, hewan, mereka jadi saksi semua. Dan ente tahu apa yang bikin aku makin puas ketawa?" Tanya Jon.
"Apa tuh?"
"Akan diputarkan semacam rekaman video yang memutar ulang hidupnya, sedetail-detailnya. Aku kira yang disebut catatan di tangan kanan dan kiri itu buku, tapi ternyata juga video, audio visual," jelas Jon sambil tertawa.
Beth yang mendengar itu setengah 'kenthir'. Ini benar atau sekedar halusinasi si Jon?
"Lah kalau begitu susah mengelak dong?" Tanya Beth.
"Hehe, iya," jawab Jon. "Tapi aku juga dikasih cara menjawab nanti disana, biar saksi-saksi nggak usah dipanggil dan video nggak diputar,"
"Wah, gimana, gimana tuh?" Beth nyengir kegirangan.
"Akui saja dakwaan-dakwaannya, lalu pasrahkan saja ke Allah semua. Pokoke kersonipun Jenengan mawon, Gusti (Allah), monggo...," jawab Jon sambil tertawa lagi.
Beth cuma garuk-garuk kepala. Mana bisa seseorang tak khawatir dengan dosa-dosanya? Kalaupun tidak khawatir, nanti malah seperti orang fasik tadi?
Tegal, Selasa, 4 Mei 2021