Ramadlan (24)
"Innamal hayyatid dunya mata'ul ghurur. Dunia memang menipu, tapi mengapa begitu yakin manusia akan dibahagiakan dan merasa aman dari tipuan-tipuannya? Dunia menipu, mengapa marah ketika kau tertipu? Mana mungkin kita marah pada burung yang berkicau?"
Di perjalanan pulang, ia mendapatkan pelajaran. Dulu, ia juga pernah tertipu sekian juta rupiah. Alih-alih ingin 'menipu' Tuhan, justru ia sendiri yang kena batunya. Ada motor murah, tahun produk baru. Dia pikir BPKB-nya nanti bisa digadaikan, jadi modal sekian juta, bisa dapat 2x lipatnya. Dapat motor, dapat uang. Ia memang lagi terhimpit kebutuhan besar untuk biaya kuliah istrinya. Dan akhirnya? Uang hilang, motor tak dapat. Dia tertipu.
"Kalau para nabi itu maksum," kata kyainya si Jon. Dia sekarang mengaji pada seorang kyai muda. "Kalau wali hanya sampai fadilah 'mahfudz'. Maksum dijaga dari dosa dan kesalahan, sedangkan mahfudz satu tingkat di bawah itu. Bisa salah, tapi mudah mendapatkan pelajaran dari kesalahan itu."
Si Jon mendengarkan.
"Ente pilih mana. Tertipu sekian juta agar tak tersentuh pada dosa riba dan keruwetan nyicil tiap bulannya, atau memilih memakan tipuan itu (mendapat apa yang diinginkan)," tanya sang kyai lagi.
Jon terdiam memikirkan.
"Mana yang disebut tertipu, mereka yang senang dengan pelayanan dunia dan mereka lupa bahwa Tuhannya bisa mengambil itu kapan saja. Atau mereka yang tertipu, merasa dibohongi seseorang dari harta yang ia rasa memilikinya?"
Jon mengerti apa maksud kyainya. Dunia ini memang unik. Ketidakpastian menyelimutinya. Yang hidup senang belum tentu memang senang jiwa raganya, yang nampak hidup murung apalagi. Tapi untuk si Jon, memang meskipun ia sudah terlatih ditipu berkali-kali, nyatanya harus terus berlatih. Hati dan pengalaman harus terus diasah, agar tetap ikhlas, dan lapang menerima kenyataan. Bukan kenyataan ia ditipu, melainkan kenyataan diciptakannya dunia dengan sifat-sifatnya. Dari itu ia belajar agar tak peduli dengan apapun yang dunia berikan padanya. Berlatih diri, agar ketika di akhirat ternyata ia hidup susah, di dunia ia sudah terbiasa. Ketika amal ibadahnya semua sia-sia, ia sudah siap : di dunia ia juga merasa tak berdaya.
Tegal, Selasa, 11 Mei 2021