Pulang jam 10 malam. Berangkat pagi jam 7.30, baru sampai rumah dan rebahan jam 10 malam. Terkadang di perjalanan menuju suatu tempat, aku merenung tentang apa enaknya dunia ini. Seperti renungan orang yang putus asa terhadap kehidupan. Apa enaknya dunia? Jika sudah kaya, punya kekuasaan tinggi, relasi banyak, lalu apa? Nyatanya manusia-manusia yang hidup menderita di bawah kaki kita terus bertambah. Bukan tentang menghilangkan kepedihan dunia, melainkan, seberapa luas keberlimpahan yang kita punya mampu untuk mengatasi itu. Untuk apa berkuasa, jika yang mampu kita lakukan hanya yang mudah-mudah saja? Untuk apa punya kekuatan, jika yang lemah tak mampu kita kuatkan? Lebih parah lagi, untuk apa kekuasaan jika yang berani kita hadapi hanyalah orang-orang yang lemah saja? Kekuasaan macam apa yang beraninya hanya dengan yang lemah saja?
Maghrib tadi aku nge-halu lagi. Melihat tempat tinggal bapak di alam barzakh. Sempat dialog, karena ternyata disana juga mirip di bumi. Seperti kehidupan sehari-hari di bumi, hanya bedanya tidak ada sistem buatan manusia di dunia ini yang berlaku disana. Sempat aku berdecak agak kecewa, "Ternyata cuma kayak gini ya, Pak?"
Lalu bapak menjawab dengan nada datar seperti biasa, "Lha sih kamu kira gimana?"
Lalu aku terbayang pada saat Rasulullah menjelang wafat. Rasul tidak mengalami sakaratul maut, karena doanya agar terhindar dari sakaratul maut pasti dikabulkan. Lalu rasa sakit apa yang beliau derita menjelang syahidnya? Itu adalah deraan rasa cinta kepada ummatnya. Kita sudah bahas tentang yang membuat sakaratul maut menyakitkan. Pertama keridoan kita yang hidup pada yang sedang ajal, dan kedua tentang perasaan tak Rido meninggalkan dunia bagi orang yang sedang sekarat. Tapi, Rasulullah tidak. Beliau paham ketika sudah pindah alam, naik ke spektrum yang lebih tinggi, beliau tak bisa menemani dan menuntun umatnya seperti saat masih di dunia. Apa enaknya merasakan nikmat kubur, jika yang kita inginkan tak berada disana. Apa itu? Umat manusia yang masih hidup di dunia. Betapa besar cintanya pada kita. Bahkan ketika ajal saja merasa khawatir akan bersama siapa umatnya nanti. Allohuma sholli ala sayidina Muhammad wa ala alaihi.
Selesai sholat baca tasbih. Lalu diberi penjelasan tentang ikatan inti atom, tentang mengatur permukaan hidup kita dengan menata hati lebih dulu. Mengendalikan Langit lewat bumi, menebak masakan dari aromanya, menebak kondisi hati seseorang dari sikap dan tingkah lakunya. Lalu aku ingat dengan penyakit gatal (biduran) yang aku derita. Bahwa menggaruk-garuk area yang gatal, itu efek dari hati yang hampir dimasuki hawa. Kita belajar tentang 4 sumber gerak semesta. Dan ternyata, hatiku dari dalam nyaris termasuki virus hawa. Itu mungkin di tulisan sebelumnya yang menjelaskan, bahwa bicara sendirinya pikiranku sebelum tidur itu efek dari itu. Hati, fu'ad, yang nyaris di selimuti hawa, nafsu, hasrat. Bagaimana mengatasinya? Kita akan belajar menguatkan sisi dalam, agar sisi luar kembali tenang. Karena, bisa jadi penyelesaian yang salah tindakan, justru akan membuat kondisi semakin parah. Seperti penyakit biduran tadi, kuku-kuku yang menggaruk justru hanya membuka luka baru, kepedihan baru, di sisi peluang riset dan penelitian yang terbuka juga. Yah, dunia memang begitu sih. Ada kegelapan di sisi cahaya. Ada kegembiraan di samping derita. Dan selalu ada kebaikan dalam tiap hal-hal yang kita sebut buruk.
Rabu malam, 8 September 2021