Abdullah bin Mubarok, seorang tabi'it tabi'in, dikisahkan sedang berthawaf di masjidil haram, ketika seorang malaikat berkata padanya :
"Ada hamba Allah bernama Ali bin Muwafaq di daerah Khurasan yang ibadah hajinya diterima meski tak melakukan perjalanan (fisik) haji."
Setelah selesai ia berhaji, pergilah Abdullah bin Mubarok ke Khurasan mencari Ali bin Muwafaq. Ia penasaran, apa yang menjadikan Allah menerima haji-nya meski tak ke Mekkah?
Saat bertemu, ia hanya seorang tukang sol sepatu yang istrinya sedang hamil tua. Setelah menceritakan 'kasyaf' di masjidil haram itu, ia bertanya pada Ali. "Apa yang kau lakukan sampai Allah menerima ibadah hajimu sekalipun kau tak berangkat haji?" Kalau bahasa kita, 'Kok enak, haji tanpa capek-capek ke Arab?'. Mau dong.
Ali bercerita, suatu saat ia dan istrinya berjalan-jalan. Saat melewati sebuah rumah, tercium aroma masakan yang enak. Istrinya ingin meminta, kalau pun tak boleh akan dibeli berapapun harganya. Maklum, lagi ngidam. Tapi dijawab oleh seorang ibu yang memasak itu, "Tuan, anak-anakku sudah beberapa hari tak makan. Aku kebingungan, lalu aku menemukan bangkai anjing di jalan. Dan aku memasakannya untuk anakku. Daging anjing ini tak layak dimakan oleh Tuan dan istri,"
Ali bin Muwafaq menangis, bercerita pada istrinya yang juga akhirnya sama-sama menangis haru. Semua uang tabungan hasil sol sepatu yang niatnya untuk berhaji, diberikan semuanya pada ibu yang memasak bangkai anjing itu.
****
Menjadi sebuah keanehan, jika manusia merasa ada sesuatu di dunia ini atau bahkan dirinya sendiri yang menjadi hak milik seumur hidupnya. Aku katakan 'seumur hidupnya', karena sebenarnya jiwa kita terus hidup dan jasad kita tak selamanya adalah benda mati. Harta, pekerjaan, derajat sosial, istri, bahkan keimanan, semua adalah 'qul bi fadllillah wa bi rohmati fa bi dzalika fal yafrohu'. Semua itu adalah anugerah dan rahmat yang Allah berikan sekedar untuk kita selalu melayani-Nya. Jiwa, raga, harta, pangkat, waktu, tenaga, segala sesuatu diberikan-Nya untuk melayani-Nya, mentaati-Nya. Maka menjadi sangat aneh, kok ada manusia-manusia yang merasa mampu memimpin, mengatur, menjadwal, merencanakan, tanpa mendahulukan-Nya. Robbi a'udzubika min hamasyati syayathin, wa a'udzubika robbi ayahdlurun. Perlindungan dan pertolongan-Nya itu mutlak harus diletakan di depan, di awal segala urusan.
Refleksi satu tahun ini, di hari pertama ini, aku ingin sampaikan beberapa hal. Tentang ujung sebuah perjalanan intelektual, tentang gerakan pusat sholat, tentang kepasrahan penuh setelah mengelilingi semesta-Nya. Bukti ketinggian ilmu seseorang adalah ketika ia merasa tak mampu apa-apa selain dengan sesuatu yang menjadi ujung pencariannya. Ia menjadi sigap, seperti seorang prajurit yang siap mengawal, melayani tuannya. Diperintah ke barat atau ke timur, ia berangkat. Diminta berdiri atau duduk, jalan atau diam, bahkan sekedar berpikir atau hening, ia siap. Ini mungkin yang disebut sebagai 'ibadillahil mukhlashin', hamba-hamba yang telah melepaskan diri dari segala jerat makhluk. Tak berefek lagi semua bayangan kecemasan terhadap apapun, selain berharap pada Tuhan. Jika dalam sholat, ini adalah duduk al i'tirof, duduk di antara dua sujud. Titik pusat gerak sholat. Ketundukan yang menjadikan manusia terangkat derajatnya menjadi 'abdullah', hamba dari Tuan yang bernama Allah, penguasa segala sesuatu. Dan seorang budak yang dibebaskan, maka ia menjadi keluarga yang memerdekakannya itu. Seperti Salman Al Farisi yang menjadi keluarga rasul, Zaid bin Haritsah yang sempat hampir disematkan 'bin Muhammad'. Dua budak yang sudah dibebaskan ini menjadi keluarga nabi bukan dari jalur nasab, melainkan jalur hukum (hakikat). Maka ketika Iblis meminta menggoda semua manusia, ia tak akan mampu untuk menggoda 'keluarga Allah', ahlullah, hamba-hamba yang telah dimerdekakan-Nya dari segala jerat makhluk. Illa ibadillahil mukhlashin.
Nggih, Siap Gusti
Engkau minta aku berjalan
Aku pun jalan
Meski diri ini begitu lemah dan malas
Engkau minta aku diam
Aku pun diam
Meski nafsu menggugat rasa keadilan
Engkau minta aku datang
Aku pun datang
Meski lelah mengancam pikiran
Engkau minta aku temani
Maka aku pun tiba
Kapanpun Engkau meminta
Pada titik ini Engkau membawaku
Ke hadapan perjumpaan kesadaran
Bahwa aku tak mampu apa-apa
Tak mampu berjalan
Tak mampu memberi
Tak mampu mengatur diri
Tak mampu bicara
Selain dari apa yang Engkau beri
Nggih, Siap Gusti
Ajari aku agar selalu acuh pada nafsuku
Rabu, 1 September 2021