Jalan Tersulit

Java Tivi
0

Mengapa kau selalu mengambil jalan takdir yang terjal, Jon? Apa yang kau tuju sebenarnya?


Tanya seorang teman.

***


Dia menikah, tapi tak mau membawa serta anak istrinya dalam pertempuran yang ia jalani sehari-harinya. Ia tak mau melukai lebih banyak orang yang ia sayangi. Sampai di suatu momentum, istrinya jenuh, dan seakan enggan menjadi istrinya lagi. Sudah miskin, kerempeng, sakit-sakitan, terus menerus 'dibully' takdir, seolah tak punya hak hidup sedikitpun.


Dia menjadi seorang pemimpin sebuah institusi, tapi tak mengambil 'servis' dari institusinya sendiri. Dia melepas hak-haknya sebagai seorang pemimpin. Memimpin dengan kewajiban penuh, tapi hak-hak hidup minus. Ia harus bekerja keras membangun institusi itu, memajukan, memperindah, dengan kesadaran kapan saja ia bisa dicopot begitu saja tanpa imbalan yang setimpal. Seperti seekor laba-laba, membuat rumahnya dengan kesadaran kapan saja itu bisa rusak dan ia harus mengawali dari awal lagi. Baginya, tak mungkin mengkhianati ilmu yang selama ini ia pelajari. Tentang keteladanan, moral, dan pemimpin itu harus paling depan saat masalah datang, juga paling belakang jika kesenangan tiba. Tidak mungkin ia menikmati fasilitas institusinya begitu saja, hidup nyaman, di atas pekerja-pekerja dan semua orang di dalamnya yang hidup mereka sangat sederhana.


Dia membuka konseling dan kesempatan belajar bersama siapa saja. Pergi kesana kemari melayani umat nabinya, berbagi ilmu-Nya, menolak dibayar, dan mencari operasional sendiri. Dia tetap dalam pendiriannya, keras kepala, mengatakan pada orang-orang yang ditemaninya itu, bahwa dirinya bukan ustadz, bukan kyai, bukan pendakwah yang wajib diamplopi. Dia sadar, ilmunya itu milik Tuhan, dan rejekinya dari mana saja yang Tuhan beri. Dia mau melayani umat nabinya, masyarakat, agar kesombongan dalam dirinya sendiri hancur. Merendahkan diri di hadapan orang-orang beriman seperti yang diperintahkan. Wakhfidz jannahaka Lil mu'minin. Merendah serendah-rendahnya, sampai tak jarang sang istri sebal dan marah dengan sifat keras kepalanya itu.


Dia menyedehkankan waktu, tenaga, dan ilmunya untuk pejabat-pejabat atasan institusinya. Sekali lagi, dengan bayaran cuma-cuma. Kerja pagi, siang, malam, dengan menyeimbangkan tugas administrasinya sendiri, tanpa keringanan, meski ia membantu mereka. Sudah kurus, ringkih, dibayar 'makasih' tok, sedang kebutuhan hidupnya ia mencari sendiri.


"Lagi ada misi apa sih ente, Jon?" tanya seorang sahabat yang benar-benar memahami berat hidupnya.


"Nggak ada, hehe," jawabnya sambil cengengesan.


"Mengapa sih ente selalu ambil jalan berat begitu?"


"Emh, sebenarnya aku juga nggak tahu jawaban pertanyaanmu itu," jawab Jon.


Sahabatnya hanya menarik nafas panjang.


"Seringkali, aku nggak punya jawaban-jawaban yang bisa diterima akal lagi, tiap ditanya begitu," lanjutnya. "Aku nggak bisa berkata, Tuhan sedang bertajjali padaku karena aki tahu dan Dia lebih tahu tentang kehinaanku. Akalku juga tak bisa menjawab mengapa aku mengambil jalan ini,"


Sahabatnya pamit membelakanginya. Tangannya mengusap matanya yang mulai menangis, entah mengapa.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)