Pepatah tua mengatakan : seperti dilema buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah mati.
Jika orang-orang cenderung 'melarikan diri' dari persoalan dilematis kehidupan, maka para pegiat Stoic justru akan memainkannya. Mereka bermain dengan buah simalakama. Berbahagia di dalam kebingungan, menari di dalam teror dan intimidasi, tetap berlari meraih mimpi meski kaki dan tubuh terluka parah.Tokoh kita, si Jon, selama 10 tahun ini ia memainkan buah simalakama. Jika sebuah penyakit bisa dibuang dengan operasi, maka penyakit yang dihadapi keluarga si Jon ini penyakit dilematis. Diamputasi akan mengorbankan orang-orang tercinta yang tak bersalah, tapi jika tak diamputasi maka akan ada potensi kerusakan yang besar. Lalu, apa jalan tengahnya? Memurnikan penyakit itu. Jika itu virus, maka menetralkan, menidurkan virus tersebut adalah jalan tengahnya. Persoalannya, 'virus' syahwat ambisi dan hawa nafsu ketika sudah menguasai hati (qolbu) maka hanya Tuhan saja yang mampu. Maka, si Jon yang melihat peta keseluruhan masalah ini pun semakin 'kenthir', sangat kebingungan.
"Jangan kau pandang derita hidup hanya dari satu sudut pandang - kecil," kata sang Guru malam itu. "Tidak ada ujian hidup, musibah, atau bahkan azab yang bukan untuk mensucikan jiwa kita,"
Si Jon diam mendengarkan.
"Kau itu orang 'aneh'," lanjut gurunya si Jon. "Musibah itu datang setidaknya untuk dua hal. Mensucikan jiwa (melebur dosa), dan atau menaikan derajat kita. Tapi kau, sudah melarang hukum alam untuk menghukum seseorang yang jelas-jelas menindasmu, dan menolak dinaikan derajat, juga tak mampu memurnikan virus hawa nafsu dalam qalbu saudaramu itu. Terus mau-mu gimana, Jon?"
Si Jon tertawa satire. Dia sendiri tak tahu apa yang benar-benar baik, yang seharusnya ia inginkan. Seakan quote-quote para ulama tergambar di pikirannya. Tentang Umar yang berbicara tentang Takdir, Ibn Athoilah yang berbicara tentang Rahmat Allah di manapun, tentang Ibn Arabi yang berbincang bahwa keburukan itu ciptaan pikiran manusia sendiri. Ia seakan sudah selesai, dan tak mau mengikuti keinginan-keinginannya sendiri. Singkat kata, ia tak peduli apa-apa lagi.
Tentang memainkan Simalakama, Jon sudah selesai. Ia sudah tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi. Tak peduli lagi dengan apa yang ia pikirkan. Tak peduli lagi ia akan diazab atau dilemparkan ke neraka. Tak peduli dan merasa 'apa enaknya masuk surga?'. Ia sudah selesai dengan hawa dan nafsunya sendiri. Bergerak bagaimana alam, lingkungan membutuhkannya. Ia sudah selesai bahkan dengan pikirannya sendiri.
Selasa, 22 Maret 2022