Meninggalkan Konsepsi Pikiran

Java Tivi
0

 Esai ramadlan 4

"Indera, dan pikiran (apalagi nafsu) tak akan mampu menatap wajah-Nya dan Rasulullah. Tiga hal itu terlalu rendah. Kita tak bisa melihat luasnya semesta hanya dengan mata kita."_Jon Q_



Puasa hari pertama kemarin, si Jon muntah-muntah setelah subuh. Padahal, sekitar 15 menit sebelum itu, dia merasakan suasana yang sangat hening, nyaman, damai. Tapi setelah itu, serasa ada nuansa aneh, tak tahu apa, dan kakinya membawanya lari ke kamar mandi, lalu, "Hoeksss...." keluarlah semua makanan, wedang teh, dan jamu tolak angin yang sahur tadi dia makan. Apa yang terjadi?


Puasa ke-4, hari Rabu, dia tumbang lagi. Dadanya sesak, terasa menyempit, pilek, batuk, lemas, nyaris vertigo. Entah apa yang sedang dialami si Jon ini. Tapi, malam lalu saat sholat isya jam 2 dini hari, ia mendapat 'penjelasan'.


"Inni Anna robbuka fakhla' na'laika. Innaka bil wadil muqodasi thuwa," Thoha, ayat 12. 


Ia berhenti memaksa dirinya mengibaratkan Tuhannya di atas 'sana'. Ia berhenti memaksa indera dan akalnya untuk mempersonifikasi Tuhannya lagi. Bahwa akal, indera, apalagi nafsu, tak bisa ikut serta ketika (jiwa) kita akan menghadap-Nya. Nabi Musa diminta melepas terompahnya, sandalnya, ketika akan mendekat pada Allah. Mengapa hanya sandal? Mengapa tongkat tidak ikut juga dilepaskan? Sedang secara ilmu fiqh, Rasulullah sholat dengan tetap memakai sandal. Kecuali saat Jibril memberi tahunya ada kotoran binatang yang sempat terinjak terompah beliau (lalu dilepaskan).


Terompah, sandal, ibarat sisi dunia yang kotor. Atau segala sesuatu dalam diri kita yang buruk : pikiran, bersitan hati, dosa, ingatan-ingatan kesalahan/maksiat. Seorang hamba tak akan bisa 'wushul', 'sampai' ke Allah selama ia tak membersihkan, tidak melepaskan semua hal itu saat menghadap-Nya. Sedang kita sendiri tak bisa berjalan sendiri mendaki, mi'raj, kecuali dengan Rahmat Allah, dan keridoan Rasulullah. Tidak ada seorang pun yang menghadap-Nya, kecuali Rasulullah berada di depannya, menuntun, membimbing.


Si Jon tak tahu, dan tak peduli apa yang terjadi dengan dirinya beberapa hari ini. Bahwa ia sedang dalam persoalan pelik di tempat mengabdinya, itu betul. Tapi untuk menuduh seseorang berbuat curang, nakal, meski tanda-tandanya ada, ini berbahaya.  Orang bilang, belajar tanpa guru itu akan dibimbing setan. Dan si Jon sangat mungkin dibimbing setan. Ia 'tak punya' guru, sanadnya sesat, putus, dan sangat mungkin penjelasan-penjelasan yang ia miliki juga dari setan. Kemudian tentang ini, katakanlah si Jon dapat penjelasan dari setan, bahwa ia (gurunya, setan) akan mengadu domba antara sesama orang beriman. Betul ada orang-orang yang mendoakan keburukan pada kita. Tapi bukan doa itu yang menjadikan kita bernasib buruk. Di tulisan sebelumnya kita sudah bahas, bahwa keburukan nasib itu mensucikan jiwa kita, mengangkat derajat kita di hadapan Allah. Tanda seseorang diajari setan adalah, ilmu yang ia miliki menjadikannya merasa berdaulat tanpa Allah. Menganggap bahwa apa yang dimilikinya itu dari usahanya sendiri, lalu untuk membantah syariat Rasulullah. Diajari setan atau ruh-ruh suci, selama itu mengajarkan ketaatan pada Allah dan Rasulullah, mencintai hamba-Nya dan umatnya, melayaninya, itu justru yang terbaik. Tak peduli gurumu siapa, sanadmu kemana. Karena nabi-nabi dan para ulama yang kita anggap mati itu sampai saat ini terus menemani kita. Mengajari kita atas izin Allah. Kematian itu hanya untuk dimensi waktu formulasi Newton. Dalam formulasi waktu Einstein, kematian tidak ada. Jarak semakin tak berarti. Sedang formulasi waktu menurut si Jon (C = E.ty²), jika kita hidup dalam formulasi ini, kita akan tahu bahwa surga, Jannah, neraka, nar, itu bukan dimana, bukan setelah mati, tapi saat ini, dan disini.


Rabu, 6 April 2022

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)