Para Athfal yang Mengajarkan Amtsal-amtsal Tertinggi

Java Tivi
0

 Tidak ada hujan yang tak reda. Seperti pelangi atau langit senja sore hari. Semua berlalu, berganti, akan terus begitu dan biasanya berlangsung lebih lama daripada usia kita. Apa yang kau harapkan dari dunia ini, manusia? Jika dunia yang hanya sebesar debu di hadapan semesta saja kau berlomba saling perang, maka mengapa untuk semesta yang lebih besar dan kekal engkau justru lupa?


Seringkali aku mengutip kisah sisipus. Dongeng si manusia sial yang terus menerus menanjakan batu ke atas gunung. Pernahkah kita sejenak berhenti dari kecepatan laju menuju impian, untuk sejenak bertanya : Mengapa engkau begitu? 


Sekitar satu tahun 3 bulan, si Jon memberikan konseling pada seorang pemuda yang kata keluarganya ia stress. Usianya 25 tahun, menolak mandi, memasukan sampah-sampah jalanan ke kamar, terkadang (dulu) membunuh kucing, makan meminta yang enak-enak. Selama satu tahun itu pula si Jon rutin seminggu 1x datang ke rumahnya. Terkadang orangtuanya yang hanya pedagang kaki lima memberinya uang bensin, tapi lebih seringnya Sang Raja-nya yang memberinya upah. Konseling itu sebenarnya bukan cuma buat pemuda tersebut, tetapi juga semua anggota keluarganya yang memang secara psikologis tertekan dan hidup nestapa. 


Awalnya si Jon bertanya-tanya, mengapa Sang Raja 'menyuruhnya' untuk mengobati pemuda itu. Apa saja sebab-sebab ia sampai begitu, depresi selama 12 tahun terakhir. Apakah ia layak, mengapa harus si Jon? Apakah memang tidak ada orang sebodoh dan konyol si Jon yang rela 'dikerjai', di-prank, atau hanya dia yang memiliki kapasitas diagnosa dan tentunya obat untuk orang-orang seperti itu? Sepertinya pernyataan pertama lebih tepat. Lagipula, si Jon kan memang biasa kerja rodi dan dibayar 2M alias 'Makasih Mas'. Jadi sudah kebal.


Pertanyaan di awal-awal konseling baru mendapatkan jawaban pagi itu, setelah satu tahun 3 bulan. Betapa bodoh memang si Jon, mencari jawaban 'satu pertanyaan' saja lama benar. Tapi jawaban itu 'turun' bukan sekedar penjelasan, melainkan satu 'paket komplit' dengan terbukanya hijab pikiran-pikiran manusia, setan, bahkan malaikat. Alam-alam di berbagai spektrum, pergerakan, pembersihan pengetahuan-pengetahuan yang salah / keliru, juga semesta rasulullah dan 'jalan tangga' nabi menuju Allah.


Si Jon baru sadar, pemuda itu adalah kader 'wali athfal' yang disesatkan setan. Ia memiliki karakter-karakter wali athfal beserta amtsal-amtsal yang selalu dikerjakannya. Ia memiliki sifat anak-anak sekalipun usianya sudah dewasa. Dan seperti dalam kitab al minan al kubro, bahwa orang-orang yang paling tidak mendapatkan barokah dari seorang wali adalah keluarganya, orang-orang terdekatnya, teman-temannya.


Kebiasaan pemuda itu mengumpulkan sampah kotor ke kamar atau kebanyakan orang-orang gila telanjang di pinggir jalan, adalah amtsal tentang manusia yang suka mengisi pikirannya dengan sampah-sampah dunia. Pikiran yang mestinya diisi ilmu, data, bukti-bukti untuk menyembah Tuhan, beserta dunia yang didapatkannya, malah menjadi sampah pikiran yang memenuhi jiwanya. Hal ini akan berefek pada negatifitas pertimbangan-pertimbangan yang manusia putuskan. "Ma lakum kayfa tahkumun", manusia gagal melakukan pertimbangan yang objektif, kalah sejak dalam pikirannya.


Pemuda itu tak mau mandi, hanya mau mandi kalau ada 'pawangnya', ya si Jon itu. Tiap si Jon datang, ia mandi, ganti baju, bahkan pakai parfum. Entah si Jon punya wilayah kewalian yang lebih tinggi, atau pemuda itu merasa memiliki teman yang sama-sama stress. Sepertinya pernyataan yang kedua lebih tepat.


Menolak mandi itu amtsal untuk orang-orang di sekitarnya yang tak mau menyucikan pikiran dan hatinya dari sampah dunia. "Wa tsiyabaka fa Thohir", dan pakaianmu bersihkanlah. Pakaian, jasad, fisik, pikiran, yang telah salah menilai mana yang berharga dan mana yang sampah seharusnya selalu dibersihkan. Nyatanya, orang beriman secara umum tidak menggunakan ibadahnya untuk menyucikan diri. Melainkan untuk meminta, berambisi, menguatkan nafsu pada dunia. Maka tiap takbiratul ikram, yang masuk ke pikiran adalah sampah-sampah dunia yang mengganggu kekhusyuan. Sebaliknya, saat di kamar mandi, dengan niat membersihkan tubuh, malah mendapatkan khayalan-khayalan, ide-ide yang baru. Sekali lagi, kita sudah salah, kalah, sejak dalam pikiran.


Pemuda itu hanya ingin makan yang enak-enak. Begitulah pikiran dan hati. Seharusnya diisi yang 'enak-enak', yang menjadikan kita semakin mantap dan khusyu menuju Allah. Karena yang enak menurut nafsu, pasti tak enak untuk jiwa dan qolbu. Kalau kata Ibn Atho'illah di kitab Al Hikam : Jika apa yang kau lakukan itu berat untuk nafsumu, maka itu pasti jalan kebaikan dan kebenaran. Maka lakukanlah.


Wali-wali Athfal sama sulitnya dengan semua wali untuk diidentifikasi oleh orang-orang umum seperti kita. Tulisan ini hanya sebagai tambahan data saja, bahwa semakin kita bijak, kita akan semakin sulit untuk menghakimi seseorang. Apalagi menganggap kesesatan, keburukan, ahli neraka, dan sebagainya pada orang lain. Ah, sudahlah. Ayo ngopi.


Sabtu, 6 Agustus 2022

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)