"Wa Ufawidlu amri ilaa allah,"
Dan ku serahkan seluruh urusanku kepada Allah.
Teman lama si Jon malam jumat lalu mengajaknya ngopi. Tidak ada yang istimewa sebenarnya, karena ternyata itu cuma 'stimulan' agar dia mau keluar rumah meski sebenarnya tak ingin. Dari pagi ia hanya tiduran di rumah kakak perempuannya. Dilema masalah yang menimpanya, nyaris membuat hidupnya kali ini 'blunder', disorientasi, kehilangan arah, alias kebingungan. Dengan ajakan teman lamanya itulah, ia akhirnya mau keluar 'kandang', yang ternyata di luar kandang itulah dia 'dijebak'.
Pulang dari temannya sekitar jam 12 malam. Karena tak mau sholat subuh terlambat lagi, dia niatkan menyambung ngopi di temannya yang lain. Tapi entah sial atau untung, motornya mogok. Sama sekali tak bisa menyala. Dia tak tahu itu kesialan atau keberuntungan sampai nanti di akhir tulisan ini Allah kasih kesimpulan mengapa malam jumat itu ia 'dijebak' seperti itu.
Sepuluh menit setelah upaya menyalakan motor bututnya itu, hujan turun. Lebat sekali dan petirnya keras juga banyak. Dia menepi di teras toko pinggir jalan. Tak tahu harus apa, main hp tak bisa karena baterai low. Baca buku juga tak bisa karena percikan air kemana-mana. Apakah si Jon menyalahkan Tuhan dan menyesali takdir malam itu? Babar blas tidak.
Dia nyaris kehilangan semua identifikasi agama yang para gurunya ajarkan sejak kecil. Surga, neraka, pahala, dosa, dekat atau jauh dengan Tuhan, azab atau anugerah, dia sudah tidak peduli lagi. Tuhan mau ridlo, alhamdulillah. Tidak ridlo juga tak masalah, karena dia akan terus mengabdi pada-Nya. Dilemparkan ke surga biasa saja, mau dilumatkan ke neraka juga monggo. Wong Allah itu Tuhan. Kekuasaan-Nya tak butuh konfirmasi dari apapun atau siapapun. Tak diterima rasulullah juga monggo-monggo saja, sholawatnya hangus dan lenyap tak ada bekas juga its oke. Dia akan tetap berdzikir dan bersholawat kapan saja. Atau misalnya si Jon tidak di neraka, tidak juga di surga, tidak juga di dunia, ya monggo-monggo kerso. Dia akan tetap berupaya jadi orang yang menolong orang lain. Dianggap ada atau tidak ada. Mendapat balasan biasa saja, tidak mendapat juga tak masalah.
Dia hanya merasa kedinginan, merasa iba, jika saja banyak orang yang di jalanan sana tak bisa istirahat karena hujan seperti itu. Debit air yang turun memaksanya untuk merenung, apa yang hendak Tuhan ajarkan dari fenomena (ahwal) ini? Ujian hidup memang paradoks. Satu nikmat diiringi tiga konsekuensi : lupa diri, lupa berbagi, takut hilang kenikmatan itu meski pasti. Sedangkan Ujian hidup, diiringi tiga hadiah : membersihkan jiwa agar bisa terhubung dengan ruh, lalu mengangkat derajat jiwa ke ruh, dan di 'maqam' itu ada hikmah. Mutiara-mutiara semesta yang disimpan Allah hanya untuk yang layak. La yamasuhu illal muthoharun.
Hujan reda jam 2 pagi. Dia mencari tempat untuk merebahkan badan, tapi gagal. Dia coba menuntun motornya ke rumah teman terdekat. Beruntung, ada 'tentara allah' yang menolongnya memancal motor bututnya itu sampai lokasi. Tapi karena khawatir mengganggu istirahat temannya itu, dia tidur di teras rumah sampai pagi. Jam 10 siang dia bangun, temannya sudah berangkat kerja. Belum sarapan, dia hubungi teman-temannya yang dia yakin bisa menolongnya, meminjamkan uang buat ke bengkel. Tapi semuanya gagal. Tuhan nge-prank. Menaikan derajat si Jon sampai ke kesadaran untuk tidak berharap pada apapun, tapi jika tak berusaha mana bisa Pertolongan datang? Dan nyatanya, setelah berupaya dia juga tetap gagal. Akhirnya terpaksa naik ojek online, bayarnya di rumah kakaknya. Sampai rumah jam 11 siang. Rebahan karena terlalu capek, dan terlewat sholat jumat. Payah. Sholat subuh tak dapat, sholat jumat terlewat. Tapi, dia tetap tak menyesali takdir. Dia menunggu, sebenarnya apa yang Tuhan ingin dengan alur cerita begini?